Oleh: Al-Zastrouw

Setiap ksatria memiliki senjata andalan. Selain untuk membela diri dari ancaman musuh, senjata juga digunakan untuk menghadapi lawan, melindungi merka yang lemah dan terzalimi.

Senjata para ksatria ini bisa berbentuk benda-benda pusaka yang berada di luar diri. Ada juga yang tidak berbentuk dan tidak berwujud tapi langsung menyatu (built in) dalam diri, seperti kesaktian dan ilmu-ilmu kanuragan. Ada yang bersifat destruktif, membunuh, dan menghancurkan. Tapi ada juga yang bersifat lembut, menyentuh hati dan perasaan lawan sehingga mereka takluk tanpa peperangan.

Dalam dunia pewayangan dikenal senjata Kuku Ponconoko yang dimiliki Bima, senjata Cokro milik Kreshna. Nenggala, senjata yang mampu membelah laut dan melelehkan gunung milik Baladewa. Panah Pasopati senjata andalan Arjuna, yang mampu melesakkan anak panah secara akurat ke sasaran. Dan beberapa jenis senjata lainnya.

Ada juga berbagai senjata lain yang dimiliki oleh para ulama dan ksatria nusantara. Di antaranya rompi/kutang Onto Kusumo milik Sunan Kalijaga; Keris Brongot Setan Kober milik Ario Panangsang; keris Kalamunyeng senjata ageman Sunan Giri, tombak Kyai Plered yang menjadi senjata andalan raja-raja Mataram Islam, dan lain-lain.

Para Nabi juga memiliki senjata pamugkas seperti tongkat sakti Nabi Musa yang digunakan untuk menaklukkan juru sihir Firaun (gak usah diperdebatkan Firaun yang mana ya). Alquran senjata penakluk hati yang dimiliki oleh Nabi Nuhammad. Dan berbagai bentuk kelebihan yang disebut mu’jizat yang menjadi senjata para Nabi.

Ada dua makna yang bisa diambil terkait dengan senjata para ksatria ini. Pertama terkait dengan cara memperolehnya. Kedua terkait dengan cara-cara atau syarat-syarat penggunaan senjata tersebut.

Dalam hal cara memperoleh senjata, semua kisah, legenda sampai sejarah menunjukkan senjata-senjata sakti itu tidak diperoleh secara mudah. Ada upaya lahir batin yang penuh dengan kesulitan, berbagai cobaan dan penderitaan untuk memperoleh senjata.

Misalnya untuk mendapatkan senjata Kuku Ponconoko, Bima harus bertapa berbulan-bulan di puncak Mahameru dengan mengalami berbagai cobaan. Untuk memperoleh kutang Ontokusumo, Sunan Kalijaga harus melakukan ritual ibadah berbulan-bulan meninggalkan berbagai kenikmatan dunia. Hal sama juga terjadi pada diri para Rosul, mereka diuji dengan berbagai penderitaan dan kepahitan hidup. Pendeknya perlu ada pencucian diri agar seseorang benar-benar bersih hati dan pikirannya sebelum menerima senjata.

Proses pencucian diri ini terkait dengan dengan cara dan persyaratan penggunaan senjata. Mengingat dahsyatnya kekuatan senjata-senjata tersebut, maka harus digunakan secara hati-hati dan terkedali. Jika tidak, maka senjata-senjata tersebut akan menjadi alat perusak yang berbahaya. Kerena itu, hanya orang-orang berhati bersih dan mampu mengendalikan diri yang bisa memperoleh senjata-senjata tersebut.

Bisa dibayangkan kalau senjata yang memiliki kekuatan dahsyat itu dipegang oleh orang berhati kotor, berjiwa kerdil, dan berwatak jahat. Niscaya senjata tersebut akan menjadi alat teror yang membahayakan kehidupan. Demikian juga kalau senjata itu berada di tangan oleh orang-orang yang tidak bisa mengendalikan diri, sedikit-sedikit marah dan tersinggung sehingga mudah  menggunakan senjata yang dimilikinya secara semena-mena, maka dunia akan dihantui oleh kekacauan. Inilah yang menyebabkan para ksatria harus dibersihkan hati dan jiwanya sebelum diberi senjata.

Para ksatria dan orang-orang alim selalu menyembunyikan senjata yang dimiliki, tidak dipamerkan di depan publik  kecuali pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Mereka juga sangat berhati-hati dalam menggunakan senjata, karena takut salah sasaran. Sikap ini diambil sebagai upaya agar senjata tersebut tidak jatuh pada orang-orang yang berhati kotor dan untuk menjaga hati agar tidak sombong dan lupa diri.

Pelajaran penting lainnya yang bisa diambil adalah, sebelum seseorang mengalahkan musuh melalui senjata yang dimilikinya seseorang harus mampu mengalahkan dirinya terlebih dahulu. Karena hanya dengan mengalahkan diri sendiri seorang ksatria bisa menggunakan senjata secara baik dan benar.

Dalam konteks ini puasa memiliki fungsi yang relevan karena melalui puasa seseorang dilatih untuk melakukan pengendalian diri dan kepekaan batin agar bisa menggunakan senjata secara tepat waktu dan tepat sasaran.

Ketika senjata-senjata sakti sejenis “keris” Kanjeng Kyai Jihad  sudah dipegang oleh orang berhati kotor, berpikiran licik dan dangkal, tidak memiliki  kemampuan mengendalikan diri dengan baik,  maka akan bisa menimbulkan keresahan dan teror karena senjata tersebut akan mudah diselewengkan, digunakan bukan pada tempatnya.

Sudah selayaknya “senjata-senjata” tersebut segera dikembalikan pada para ksatria sejati yang memiliki kemampuan mengendalikan diri lahir batin, memiliki ketajaman rasional dan spiritual yang memadai agar senjata-senjata tersebut bisa dipergunakan sebagaimana mestinya.

Puasa adalah salah satu cara membentuk para ksatria sejati yang mampu mengendalikan diri. Selamat menjalankan ibadah puasa, semoga mampu menjadi ksatria yang bisa merebut kembali senjata dari tangan para pendekar pemarah dan egois yang hanya mengkapling surga untuk dirinya. (*)