Kastara.ID, Jakarta – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengkritisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang penggunaan seragam sekolah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan Pemerintah Daerah (Pemda) terkait kekhususan agama. Hidayat menyebut SKB tersebut sebagai kebijakan yang tidak proporsional.

HNW sapaan akrab Hidayat menyayangkan kebijakan yang berpotensi menimbulkan kontroversi ini justru hadir ketika banyak sekolah belum menyelanggarakan belajar tatap muka. Dan itu mengakibatkan banyak pihak khawatir akan kualitas belajar dan mengajar. Apalagi ditambah dengan semakin banyaknya korban Covid-19 dan kejahatan terhadap anak-anak usia sekolah. Menurutnya, pemerintah bukan fokus menyelesaikan masalah-masalah itu, tetapi justru menghadirkan kebijakan yang berpotensi menciptakan persoalan baru.

“Ini bukan SKB yang diperlukan untuk mengatasi masalah pendidikan dan dampak negatif dari pandemi Covid-19, terutama untuk para anak usia sekolah. Dan jelas, kebijakan ini sangat tidak proporsional,” ujar Hidayat Nur Wahid melalui siaran pers di Jakarta (4/1).

HNW menilai kehadiran SKB yang diterbitkan Mendikbud, Menag, dan Mendagri, tidak mempertimbangkan secara komprehensif realitas dan aspek lokalitas yang ada di masyarakat masing-masing daerah di Indonesia. Padahal keragaman, itu diakui oleh UUD NRI 1945 sebagai bagian dari Bhinneka Tunggal Ika.

“Karena memang banyak daerah yang adat istiadatnya terintegrasi dengan ajaran agama, seperti di Sumatera Barat atau Banten. Bukan hanya di Aceh yang dikecualikan dalam SKB tersebut (diktum no 6),” ujarnya.

Lebih lanjut, HNW mengatakan masyarakat tentu akan mengaitkan penerbitan SKB ini dengan peristiwa di Kota Padang, beberapa waktu lalu. Pada peristiwa itu, ada siswi non muslimah yang merasa diwajibkan mengenakan jilbab. Padahal tidak ada ketentuan Perda yang mewajibkan siswi non muslimah untuk berjilbab. Bahkan, banyak siswi non muslim yang  sudah memberikan kesaksian, kalaupun mereka berjilbab saat ke sekolah, itu karena pilihan mereka sendiri, bukan pemaksaan oleh sekolah. Persoalan ini pun sudah selesai, dengan diperbolehkannya siswi non muslimah tersebut untuk tidak mengenakan jilbab yang menjadi seragam sekolah negeri di Padang.

“Masalah pun selesai. Kebijakan toleransi dan tidak mewajibkan sudah dilakukan. Karena sejak awal memang tidak ada pewajiban berjilbab bagi sisiwi non-muslimah. Dan memang seharusnya begitu, karena Islam melarang adanya pemaksaan dalam beragama. Lalu, sekarang, mengapa aturan yang mencerminkan adat istiadat Minang yang konstitusional dan bersendikan syara (Agama Islam) itu harus dipersoalkan kembali? Dan malah diminta untuk dicabut, bahkan dengan ancaman bila tidak dicabut. Ini tidak proporsional, sangat tidak mendidik, dan tidak sesuai dengan konstitusi,” ujarnya.

Meski begitu, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini secara objektif juga menilai ada poin yang bagus dan perlu didukung dari SKB Tiga Menteri tersebut. Yakni poin yang menyatakan bahwa pemerintah daerah dan sekolah juga tidak boleh melarang peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan untuk mengenakan seragam dengan kekhasan agama tertentu. Karenanya tidak boleh ada pelarangan pengenaan pakaian/atribut sekolah yang sesuai dengan ajaran agama seperti jilbab sebagaimana yang pernah terjadi di Bali pada 2014 lalu dan di Manokwari (Papua) beberapa waktu lalu.

“SKB itu membuka ruang toleransi bagi yang agamanya berbeda dengan mayoritas siswa/masyarakat. SKB itu menghormati pilihan pribadi untuk memakai atau tidak memakai baju seragam sesuai dengan aturan. Tidak melarangnya, juga tidak mewajibkannya,” tukasnya.

Dengan visi seperti itu, HNW berpendapat Pemda atau sekolah wajarnya berwenang untuk mengatur seragam yang diberlakukan di sekolah. Dan bila perlu seragam yang dikenakan oleh para peserta didik bisa merujuk kepada adat budaya setempat, seperti yang pernah disampaikan oleh Mendikbud Nadiem Makarim yang membolehkan peserta didik mengenakan pakaian daerah.

“Yang perlu diingat adalah ada beberapa daerah, seperti Sumatera Barat dan Bali yang adat istiadatnya terintegrasi dengan ajaran agama,” ujarnya.

Oleh karena itu, HNW berharap SKB Tiga Menteri itu segera direvisi, agar kebijakan yang diambil menjadi lebih proporsional, menjawab tantangan, dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) UUDNRI 1945. Yaitu meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa. Dan berpakaian sekolah sesuai dengan kekhasan ajaran agama masing-masing, diharapkan bisa menjadi sarana untuk kuatkan iman takwa dan ahlak yang mulia dan mencerdaskan kehidupan berbangsa itu.

“Seharusnya tidak ada paksaan bagi peserta didik untuk mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Namun, di sisi lain, jangan pula melarang Pemerintah Daerah atau Sekolah membuat aturan seragam yang mendekatkan peserta didiknya kepada iman, takwa, dan akhlak mulia. Aturan tersebut seharusnya tetap diperbolehkan dengan tetap menghormati pilihan pelajar yang beragama lain untuk memilih berpakaian yang pantas, sebagai bentuk pemahaman dan praktik ajaran konstitusi dan agama terkait toleransi, moderasi, inklusifitas, serta cinta bangsa dan negara,” pungkas HNW. (rso)