Oleh: Al-Zastrouw

Akhir-akhir ini suasana keluarga kami menjadi agak bising dan gaduh karena ulah anak-anak yang selalu merajuk sambil marah-marah. Mereka memaksa agar semua keinginannya dipenuhi. Beberapa orang tua di antara keluarga kami sudah berusaha memenuhi keinginan mereka, tapi anak-anak terus saja merajuk dan marah-marah

Alih-alih mau diam, mereka justru makin berisik dan gaduh. Anak-anak itu mengajak teman-temannya memasuki kamar kekuarga, ruang tamu, dapur; bahkan kamar pribadi yang sakral pun diobrak abrik dijadikan tempat menumpahkan sumpah serapah yang penuh caci maki dan kebencian. Padahal menurut kami, apa pun permintaan mereka sudah terkabulkan, tapi mereka tetap saja belum puas sehingga terus berisik dan merasa masih kurang.

Mereka ini menuntut agar diberi perhatian dan posisi lebih dibanding yang lain, karena merasa lebih punya hak dibanding yang lain. Padahal di keluarga kami memiliki aturan semua anggota keluarga memiliki posisi sama dan setara. Namun demikian, sebenarnya memang selama ini mereka sudah mendapat perhatian, perlakuan, dan posisi yang lebih dibanding yang lain. Mereka lebih disayang, lebih diutamakan, bahkan sudah diberi segalanya melebihi saudra-saudara yang lain. Uang saku, uang belanja sampai memegang palu aturan rumah tangga mulai tingkat pembantu sampai kepala rumah tangga pun sudah diberikan kepada mereka. Pendek kata, sejak rumah kami berdiri semua kendali sudah diberikan dan ada di tangan mereka.

Tapi dasar anak kecil, semua itu tak bisa di-tasarruf-kan dengan baik. Malah harta dan kekuasaan yang besar itu dia gadai dan sebagian ditukar dengan permen dan alat-alat mainan sederhana berharga murah. Mereka menukar semua itu pada teman-teman dan saudara kami lainnya. Setelah uang mereka habis dan bosan dengan mainan yang ada, anak-anak kecil ini merasa dizalimi, bahkan menuduh orang lain merampas kekuasaan dan kekayaannya. Kemudian menghasut dan menghembuskan kecurigaan berlebihan pada sesama saudara. Padahal semua itu terjadi karena ulahnya sendiri yang tidak hati-hati memegang harta dan amanah. Mereka malas belajar dan mengembangkan nalar agar bisa memahami tuntunan secara tepat dan akurat.

Kini anak-anak yang merasa dizalimi itu mulai mengembangkan sikap curiga dengan menghembuskan fitnah dan sentimen pada sesama saudara. Bahkan mereka mengajak teman-temannya yang ada di tempat lain untuk merusak rumah kami: ada yang dengan melempari atap, menjebol tembok, bahkan, sebagian diantara mereka ada yang sudah berani mencongkel fondasi rumah. Mereka seolah tidak peduli rumah kami hancur dan roboh karena jika rumah kami roboh mereka beranggapan bisa pindah ke rumah lain yang sudah disediakan untuk mereka. Syukur-syukur bisa bangun rumah baru sesuai keinginan mereka di atas puing-puing rumah kami yang sudah hancur.

Kelihatannya ini pikiran cerdas, tapi sesungguhnya ini nalar emosional anak-anak yang masih tergiur pada tampilan dan silau pada kulit luar yang terlihat menawan. Seorang anak TK tak akan pernah bisa melihat dan merasakan indahnya kilau berlian dan mahalnya sebongkah intan. Mereka lebih tertarik pada mobil-mobilan kaleng atau sepotong kue manisan. Inilah yang membuat mereka tega merusak rumah dan membuang intan berlian warisan para ulama dan leluhurnya demi sekerat ideologi yang belum dia pahami. Mereka tidak sadar bahwa sikap mereka merusak rumah sendiri agar bisa bangun rumah baru itu seperti keluar dari mulut singa masuk mulut buaya.

Anak-anak kecil yang gaduh dengan ulahnya yang heroik itu tidak sadar bahwa akibat ulahnya yang terus berisik dan bikin kisruh ini, telah membuat beberapa saudara kami merasa risih dan resah. Bahkan ada di antara saudara kami yang mulai merasa ketakutan akibat intimidasi dan provokasi yang mencekam dari anak-anak kecil ini terhadap mereka.

Seperti halnya anak-anak lain, jika diingatkan, mereka akan marah, layaknya pemabuk yang diajak meninggalkan minuman keras. Jika dinasihati mereka akan balas memaki karena merasa lebih benar dari siapa pun. Etika dan akhlak ditinggalkan, moral diabaikan sehingga mereka tega dan berani menghujat dan melecehkan ulama-ulama yang menjadi panutan. Jika dibalas dengan sikap kasar, mereka membalas dengan protes danĀ  tudingan balik melalui khotbah moral dan etika seperti layakya seorang moralis.

Anak-anak kecil ini tidak pernah tahu bahwa sikap keras dan marah-marah itu justru menjauhkan dirinya dari rasa simpatik dan membuat orang lain muak pada pesan yang mereka sampaikan. Melihat ulah dan kelakuan anak-anak kecil yang selalu merajuk ini saya jadi teringat pernyataan Lenin tentang infantile leftism (kiri kekanak-kanakan). Suatu istilah untuk menyebut orang-orang kiri yang sok revolusioner. Merasa diri paling kiri, paling benar, dan paling progresif, padahal mereka sama sekali tidak mengetahui peta politik, ideologi, dan realitas sosial masyarakatnya. Jangan-jangan orang-orang yang merasa paling benar, paling berani, paling revolusioner, dan paling islami ini sebenarnya orang-orang yang terkena sindroma kekanak-kanakan sehingga layak disebut kelompok infantile islamism (Islam kekanak-kanakan)?

Saatnya menep, sareh, dan belajar pada kehidupan agar tidak terbelenggu teks dan terpenjara oleh simbol. Teks dan simbol hanya klotokan, wadah, dan kulit. Dia akan bermakna jika diisi dan dimaknai. Hanya dengan belajar mengisi dan memaknai teks dan simbol dengan laku utama dan akhlak mulia, seseorang bisa bergerak dari dunia anak-anak menjadi manusia dewasa. (*)