Oleh: Al-Zastrouw

Saya lupa hari dan tanggalnya, namun yang jelas peristiwa ini terjadi beberapa hari setelah peristiwa kerusuhan Jakarta yang menjadi tonggak terjadinya reformasi 1998. Saat itu malam telah larut, beberapa tamu telah meninggalkan rumah Ciganjur. Di ruang tamu tinggal saya, (almahfurlah) Gus Dur, dan mas Fajrul Falah (alm.) yang kebetulan sedang menginap di sana.

Kebiasaan Gus Dur menjelang tidur selalu bercerita beberapa hal kepada kami, semacam review kecil atas infomasi dan peristiwa yang terjadi hari itu. Selain untuk dianalisa, hal ini juga untuk mempersiapkan langkah jika ada yang perlu segera direspons esok harinya. Seperti yang terjadi malam itu, tiba-tiba Gus Dur bilang, “Tro, besok kita datang ke Cendana ketemu Pak Harto.”

Mendengar pernyataan Gus Dur, saya dan Mas Fajrul seketika kaget: “Ngapain ke sana Gus?” tanyaku spontan. Kemudian Mas Fajrul menimpali, “Wah bahaya Pak Dur kalo situasi seperti ini kita dekat-dekat Soeharto”.

Gus Dur merespon dengan cuek terhadap kekhawatiran kami: “Bahaya opo, kayak mau perang aja?” Demikian jawabnya dengan mimik wajah yang tetep cuek.

Melihat sikap Gus Dur yang cuek bebek itu, kami semakin khawatir dan penasaran. “Kalo bisa mbok tidak usah ketemu Pak Harto dulu, Gus. Suasana lagi tegang dan semua orang lagi memusuhi Pak Harto, nanti njenengan ikut dimusihi.” Demikian usul saya sok tahu. Mas Fajrul juga punya kekhawatiran yang sama. Selanjutnya dia memberikan analisa panjang lebar atas situasi yang terjadi.

Menurut mas Fajrul, situasi sosial politik yang ada akan sangat tidak menguntungkan untuk bertemu Pak Harto. Pertama, Gus Dur bisa dianggap pengkhianat dan penghambat reformasi karena mendekati Pak Harto yang dianggap musuh reformasi. Kedua, Gus Dur akan dianggap melakukan deal politik yang menguntungkan diri dan kelompoknya saja dengan mengorbankan proses reformasi. Artinya Gus Dur akan dianggap mencuri di tikungan untuk memperoleh keuntungan politik. Ketiga, yang menurut Mas Fajrul paling berbahaya, Gus Dur akan kehilangan popularitas dan dukungan massa karena dianggap berpihak kepada Pak Harto. Dalam suasana ketegangan yang sensitif seperti ini, apa yang dilakukan Gus Dur akan dimanfaatkan oleh lawan-lawan politik untuk menghancurkan reputasinya. Paling tidak, kalau dalam bahasa sekarang, Gus Dur akan di-bully habis oleh lawan politik.

Setelah melihat kepanikan dan keseriusan kami dalam berargumentasi akhirnya gus Dur mulai ikut serius. “Begini ya, ini keadaan sudah sangat kacau, kesatuan bangsa terancam. Masak kita masih memikirkan soal popularitas pribadi,” jawab Gus Dur tenang, namun membuat kami terhenyak. “Saya tidak peduli mau popularitas saya hancur, mau difitnah, dicaci maki, atau dituduh apa pun, tapi bangsa dan negara ini harus diselamatkan dari perpecahan.”

Mendengar suara Gus Dur yang makin meninggi, saya dan Mas Fajrul terdiam. Beberapa saat hening, kemudian beliau kembali bicara dengan intonasi yang menurun. “Begini ya, kita tidak bisa membiarkan rakyat larut dalam emosi dan terbakar api kebencian. Kalau dibiarkan ini bisa membakar seluruh rumah kebangsaan kita. Rakyat harus dididik dan disadarkan meski untuk itu harus melawan arus deras emosi massa dengan risiko kita digilas, dicaci maki, dan dihina, hingga kehilangan popularitas dan ditinggalkan massa. Keadaan ini harus dihentikan karena sudah melampaui batas-batas kepantasan dan toleransi. Ini harus dihentikan”.

Kembali kami terdiam, hening dan senyap.

“Jadi pemimpin itu tidak gampang, harus berani melawan kehendak massa jika tindakan dan sikap mereka sudah melampaui batas-batas yang bisa membahayakan bangsa dan negara. Seorang pemimpin tidak boleh membiarkan ummat terperosok dalam tindakan yang membawa kerusakan hanya karena takut kehilangan popularitas dan dukungan massa.”

Kata-kata Gus Dur makin menggerus perasaan kami seperti air hujan menggerus tanah gundul di tebing yang miring.

“Bertahun-tahun saya ‘musuhan’ dengan Pak Harto, tapi itu soal pemikiran dalam mengelola negara, bukan soal pribadi. Ketika pak Harto di-kuyo-kuyo melampaui batas hingga menghancurkan harkat dan martabatmya sebagai manusia, kita harus membelanya dan mencegah tindakan rakyat yang sudah melampaui batas. Ini bukan soal pribadi Pak Harto, tapi soal menjaga keutuhan bangsa. Karena itu saya besok akan tetap datang menemui Pak Harto.”

Malam itu aku mendapat pelajaran dan wejangan berharga mengenai pemimpin melalui laku hidup seorang Gus Dur. Sangat jelas terlihat di sini, pemimpin bukan pesohor yang mempertahankan popularitas diri di depan ummat dengan memanfaatkan eforia dan emosi massa.

Jika pemimpin bangsa diperlukan sikap yang penuh kearifan dan kebesaran jiwa, apalagi menjadi seorang ulama yang memiliki otoritas dalam memanfaatkan teks suci dan berbicara atas nama Tuhan. Suatu “senjata suci” yang tidak boleh digunakan sembarangan. Karena kalau digunakan sembarangan dan tanpa mengindahkan batas-batas kepantasan dan situasi maka akan bisa menjadi sumber bencana yang daya rusaknya sangat dahsyat. Itulah sebabnya Gus Dur sangat berhati-hati dalam mengutip dan menggunakan ayat, termasuk dalam memaknai dan menafsirkannya.

Pemimpin bukanlah orang yang hanya bisa menggerakkan massa atas nama kebenaran dengan meneriakkan ayat-ayat suci. Mengikuti persepsi dan kemauan massa sekalipun mengancam keutuhan bangsa dan merusak kehidupan.

Pemimpin adalah orang-orang yang berani mempertaruhkan apapun yang ada pada dirinya demi kemaslahatan dan mencegah kerusakan. Pemimpin adalah mereka yang tidak hanyut dalam eforia massa, tetapi mampu mendidik dan mencerdaskan rakyat yang larut dalam emosi dan kebencian. Bisa mengerti dan memahami batas terjauh dalam melakukan gerakan agar tidak menimbulkan kerusakan, meskipun yang diperjuangkan adalah suatu kebenaran yang diyakini. Dengan demikian dia mampu menentukan pada titik mana suatu gerakan harus berhenti demi menjaga kemaslahatan, bukan terus melakukan provokasi tanpa henti hingga memancing kegaduhan terus menerus.

Di sini kita bisa melihat secara jelas seorang ulama, pemimpin dan para pesohor yang takut kehilangan popularitas diri di hadapan massa serta para pecundang yang selalu menfaatkan massa dengan mengatasnamakan apa saja demi keuntungan pribadi.

Dalam suasana yang makin gaduh dan penuh ketegangan seperti sekarang ini, saya makin rindu pada sosok Gus Dur. Ketika pemimpin ummat terus memprovokasi dan membakar emosi ummat atas nama kebenaran yang mereka yakini tanpa memikirkan risiko dan dampak yang ditimbulkan. Ketika keutuhan bangsa dan kedaulatan negara didudukkan di bawah kebenaran subyektif massa atas nama agama. Ketika popularitas diri dan jumlah massa pendukung lebih dipentingkan daripada kebaikan bersama semua warga bangsa. Ketika para ulama sudah berperilaku seperti pesohor, ketika ulama twrsingkirkan oleh para pecundang, maka sesungguhnya bangsa ini telah mengalami degrasasi dan krisis kepemimpinan yang akut. (*)