Vaksin COVID-19

Kastara.ID, Jakarta – Sebagian masyarakat masih ragu, bahkan menolak rencana Pemerintah untuk memberi vaksin Covid-19. Padahal Presiden sudah menyatakan akan menjadi orang pertama yang bakal divaksin di Indonesia.

Demikian disampaikan Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M. Jamiluddin Ritonga kepada redaksi Kastara.ID, di Jakarta, Senin (21/12) pagi.

“Pernyataan presiden itu tidak serta merta membuat masyarakat percaya terhadap vaksin yang akan diberikan pemerintah. Hal itu wajar mengingat presiden bukan orang kredibel dalam menyampaikan vaksin Covid-19 kepada masyarakat,” ungkap Jamil, sapaan akrabnya.

Jamlil pun berpendapat, seharusnya Menteri Kesehatan dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang menyampaikan hal itu. Sebab, dua lembaga di pemerintahan ini yang memiliki kredibilitas dalam menyampaikan vaksin Covid-19.

“Selain dua lembaga tersebut, sebetulnya pemerintah dapat menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam menyampaikan vaksin Covid-19. Lembaga ini tentu sangat kredibel menyampaikan hal itu,” tandas pegajar Isu dan Krisis Manajemen ini.

Sayangnya IDI tidak dilibatkan dalam menyampaikan rencana vaksin Covid-19 ke masyarakat. “Justru IDI menginformasikan, sampai saat ini belum ada vaksin Covid-19 yang telah lulus uji klinis fase tiga. Bahkan BPOM hingga kini belum menyampaikan vaksin mana yang aman, berkhasiat, dan bermutu sesuai standar internasional seperti WHO,” imbuhnya.

Pernyataan IDI itu, jelas Jamil, membentuk persepsi di sebagian masyarakat bahwa belum ada vaksin Covid-19 yang layak digunakan. Persepsi inilah yang membuat masyarakat masih ragu, bahkan menolak rencana vaksin Covid-19.

Penulis buku Tipologi Pesan Persuasif ini menegaskan bahwa masyarakat juga masih ragu kehalalan vaksin tersebut. Keraguan itu masih menguat karena MUI hingga kini belum menyampaikan hal itu.

“Jadi, kredibilitas penyampai vaksin Covid-19 menjadi faktor dominan penyebab terjadinya keraguan dan penolakan di masyarakat,” ungkapnya.

Jamil juga menekankan, keraguan dan penolakan juga disebabkan masih parsialnya informasi tentang vaksin Covid-19. “Sebagian masyarakat menganggap akan divaksin produk Sinovac, yang oleh WHO dinilai paling rendah efektivitasnya. Hal ini makin membuat masyarakat khawatir untuk divaksin,” jelasnya.

Karena itu, Jamil berharap perlunya pemerintah menyusun pesan yang komprehensif agar masyarakat mengerti mengenai vaksin Covid-19, konsekuensinya, dan kemungkinan antisipasinya. Dengan informasi seperti itu, masyarakat siaga dan siap saat pelaksanaan vaksin.

Selain itu, pemerintah seharusnya menyampaikan informasi mutakhir secara berkala agar masyarakat yakin pelaksanaan vaksin layak secara medis dan halal secara agama.

Pemerintah juga perlu menjelaskan cara praktis penanganan vaksin, mengkoreksi rumor dan misinformation, serta menjelaskan rencana paska vaksin Covid-19.

“Jadi, pemerintah, IDI, dan MUI perlu berkoordinasi agar terjadi sinergi satu pesan komunikasi yang sampai ke masyarakat. Tentu diperlukan berbagai media yang menjangkau seluruh masyarakat untuk menyampaikan pesan vaksin Covid-19 secara gratis,” jelas mantan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) IISIP Jakarta 1996-1999 ini.

Jamil juga menekankan bahwa hal tersebut harus dilakukan secara terus menerus dan terintegrasi. Tanpa komunikasi yang tepat, masyarakat tidak akan mengadopsi perilaku yang diharapkan dan tujuan pemerintah agar masyarakat bersedia divaksin akan sulit tercapai. (jie)