Demokrasi

Oleh: Muhammad AS Hikam

Hari Senin (21/8) bertempat di Hotel Mercure, Jl. Sabang, Jakpus, saya menjadi salah satu pembicara dalam sebuah konferensi internasional “Culture and Democracy: Inclusive & Participatory Democracy for Sustainable Development”. Acara yang diselenggarakan oleh Asian Democracy Network (ADN) bekerja sama dengan INFID ini berlangsung sehari penuh.

Saya menjadi salah satu narsum dalam panel yang khusus membicarakan dinamika demokrasi di Indonesia bersama Bagus Takwim (UI), Bambang Harimurti (Tempo), Alyssa Wahid (Jaringan Gusdurian), Philip Vermonte (CSIS), dan pembahas Sugeng Bahagijo (Infid), serta moderator Sandra Hamid (Asia Foundation). Paparan yang saya sampaikan berjudul “Whither Consolidated Democracy?: A Challenge of Political Islam in the Post-Reformasi Indonesia” (Ke Mana Arah Konsolidasi Demokrasi?: Tantangan Islam Politik di Indonesia Pasca-Reformasi).

Dalam paparan ini saya mengemukakan dua proposisi: 1) Konsolidasi demokrasi di Indonesia pasca-reformasi mengalami kemacetan karena kegagalan dalam institusionalisasi politik pada dimensi elektoral politik; dan 2) Muncul dan berkembangnya pengaruh dan kekuatan Islam politik yang menggunakan masyarakat sipil Indonesia (MSI) dan memengaruhi politik elektoral di Indonesia. Implikasi dari kedua asumsi itu adalah semakin terhambatnya proses konsolidasi demokrasi yang pada gilirannya akan terjadinya ancaman terhadap demokrasi, keamanan nasional yang berdampak negatif pada geopolitik regional dan internasional.

Lambatnya konsolidasi demokrasi setelah bergulirnya gerakan reformasi nyaris dua dasawarsa lalu, telah mengakibatkan kemacetan demokratisasi yang ditandai dengan formalisme atau proseduralisme dalam pelaksanaan demokrasi pada ranah politik elektoral. Dampak kemacetan ini adalah kendati Indonesia secara formal termasuk negara demokrasi terbesar ketiga di dunia (setelah India dan AS), tetapi secara substantif mengalami kemunduran: semakin rendahnya kepercayaan terhadap parlemen, marak politik transaksional, korupsi berjamaah di DPR/D, menguatnya oligarki dalam perolitikan, otonomi daerah yang tak kunjung menciptakan pemajuan ekonomi daerah, dan lain-lain.

Sementara itu, fenomena makin menguatnya pengaruh Islam politik di dalam masyarakat merupakan persoalan serius karena memberi peluang terhadap pelemahan demokratisasi serta maraknya politik identitas yang menyuburkan primordialisme, sektarianisme, dan bahkan ancaman radikalisme. Belum lagi pengaruh ideologi transnasional radikal yang bergabung dengan kekuatan anti-demokrasi yang berasal dari dalam negeri, semakin menambah kesulitan dalam proses konsolidasi demokrasi dan penguatan demokrasi konstitusional di negeri ini.

Masyarakat sipil Indonesia merupakan ranah yang paling terbuka bagi tumbuh dan berkembangnya elemen-elemen dan kelompok-kelompok Islam politik. Namun tak berarti bahwa pengaruh mereka berhenti di situ, karena mereka juga memiliki akses dan pengaruh erhadap parpol, elit pemerintah, dan lembaga-lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta lembaga-lembaga kuasi-negara). Hanya saja konsolidasi dan mobilisasi kekuatan Islam politik yang sangat nyata dan berpengaruh adalah melalui politik garis massa yang mampu memengaruhi dan menghalangi proses demokratisasi. Kasus Pilkada DKI 2017 merupakan sebuah indikator bahwa politik massa yang didukung, dimobilisasi, dan dikendalikan oleh kekuatan Islam politik mampu memengaruhi politik elektoral dan mengalahkan koalisi parpol pendukung pasangan petahana, Gubernur Ahok dan Wagub Djarot.

Kekuatan Islam politik di Indonesia jika makin mengalami radikalisasi karena hegemoni ideologi radikal transnasional seperti khilafahisme, jelas akan semakin memperlambat dan bahkan mengnetikan konsolidasi demokrasi. Kemungkinan kembalinya rezim otoriter dan prospek terjadinya disintegrasi nasional karena konflik-konflik sektarian bukan hal yang tak mungkin. Demikian juga implikasi terhadap konstelasi keamanan regional, khususnya maraknya konflik-konflik dan kekerasan yang memakai topeng agama (Islam, Buddhisme, Kristen,) di beberapa negara ASEAN seperti Myanmar, Thailand Selatan, Filipina Selatan, Malaysia, dan Indonesia sendiri.

Konsolidasi demokrasi, baik pada tataran politik elektoral maupun masyarakat sipil di Indonesia, adalah sebuah keniscayaan. Reformasi parpol adalah salah satu keperluan paling mendesak agar institusionalisasi politik pasca-reformasi berjalan dengan baik dan agar perpolitikan nasional terhindar dari letargi dan kemacetan serta pembusukan. Pada tataran masyarakat sipil, perlu gerakan-gerakan nasional memperkuat upaya pembendungan pengaruh ideologi anti-Pancasila dan UUD 1945 serta deradikalisasi yang lebih efektif, termasuk pada tataran akar rumput.

Keberhasilan konsolidasi demokrasi di Indonesia adalah sebuah keniscayaan agar amanat reformasi, khususnya tegaknya sistem demokrasi konstitusional, dapat diperkuat dan dilaksanakan secara efektif di Indonesia. (*)