Kastara.id, Jakarta – Secara garis besar, narasi film “The Power of Love” mengikuti tokoh jurnalis muda Rahmat, diperankan Oleh Fauzi Baadila, yang pada awalnya meragukan rangkaian aksi sejumlah organisasi massa Islam terhadap rencana Aksi Bela Islam 212. Sikapnya mengalami perubahan setelah menemani ayahnya yang mengikuti aksi tersebut.

“Aksi 212 sebenarnya hanya (sebagai) background saja. Cerita yang ingin disampaikan cerita cinta. Perjalanan seorang anak dan bapak yang akhirnya menjadi perjalanan penuh cinta, yang sangat bersejarah bagi mereka. Awalnya bermusuhan luar biasa,” kata sang sutradara Jastis Arimba dalam jumpa pers di Abuella Cafe, Cilandak, Jakarta Selatan, Selasa (23/5).

Skenario film ini ditulis oleh Jastis bersama Ali Eunoia. Jastis juga yang menjadi produsernya. Helvy Tiana Rosa dipercaya untuk supervisi naskah. Sementara Ustadz Erick Yusuf menjadi produser konsultasi. Produksi “The Power of Love” dilakukan di bawah naungan rumah produksi Warna Pictures dengan anggaran dana antara Rp 1-5 miliar.

Fauzi Baadila menjadi pemeran utama. Ustaz Erick juga turut menjadi pemeran pendukung, bersama Asma Nadia adik Helvy, Adhin Abdul Hakim, Hammas Syahid, Meyda Sefira, dan Cholidil Assadil Alam.

Sebagai pemeran utama, Fauzi Baadila mengakui dirinya memang sangat tertarik bergabung di produksi ini. “Peran (saya) sebagai Rahmat. Saya mungkin mewakili umat Muslim yang kadang masih abu-abu. Ada kalanya kita harus berprinsip, bersikap, kalau ada suatu keadaan-keadaan tertentu,” kata aktor yang kerap disapa Oji.

Tokoh Rahmat dalam film ini adalah sosok jurnalis yang meyakini bahwa serangkaian aksi massa terkait polemik rekaman pidato Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama di Kepulauan Seribu, hanyalah aksi yang ditunggangi oleh gerakan politik semata demi perebutan kekuasaan.

Sementara di sisi lain, ayahnya yakin bahwa aksi tersebut merupakan wujud kecintaan dan pembelaan terhadap agama Islam. Ayah Rahmat adalah pemuka agama di kampung halaman yang dikenal keras dan konservatif.

“Rahmat itu sosok karakter fiktif yang saya buat, yang latar belakangnya ada dalam kisah-kisah personal yang saya temukan di 212,” ujar Jastis.

Setelah ibunya meninggal, Rahmat harus pulang ke kampung. Dia bersitegang dengan ayahnya yang memaksa diri ingin ikut aksi lanjutan pada 2 Desember 2016. Ayah Rahmat bahkan menggerakkan massa untuk pergi ke Jakarta.

“Pada akhirnya, Rahmat mau tidak mau terjebak dalam situasi, sebagai anak, dia harus menjaga bapaknya. Sebagai anak satu-satunya, lihat bapaknya sudah tua, sebenci-benci anak terhadap orangtua, dia memutuskan untuk menemani (ayahnya melakukan aksi di Jakarta),” kata Jastis.

Rencananya film ini mulai diproduksi setelah Idul Fitri dan akan tayang di bioskop pada Desember 2017. (koes/dwi)