Oleh: Muhammad AS Hikam

Setelah kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kini kemungkinan muncul lagi kasus yang mirip, tetapi kali ini yang menjadi sang terduga pelaku justru adalah Habib Rizieq Shihab tokoh ulama dan pemimpin FPI serta GNPF MUI. Kasus yang disebut terakhir ini terkait dengan ucapannya yang dianggap telah menistakan salah satu agama, yaitu Kristiani. Apakah ini semacam “hukum karma” ataukah karena urusan keseleo lidah belaka, atau benar-benar suatu kesengajaan Habib Rizieq Shihab?

Saya tidak bisa menjawab, karena kasus Habib Rizieq Shihab ini baru saja muncul dan statusnya masih merupakan laporan kepada Polri, dalam hal ini Bareskrim, yang dilakukan oleh ormas kemahasiswaan PMKRI. Polri tentunya masih perlu melakukan verifikasi dan penyelidikan mengenai laporan tersebut, apakah akan bisa berlanjut menjadikan Habib Rizieq Shihab sebagai tersangka. Jadi yang bisa kita lakukan saat ini, sebagai warga negara yang baik dan peduli dengan keharmonisan kehidupan ummat antar-agama adalah memantau perkembangan sambil mencoba mengkaji apa implikasinya terhadap kehidupan kita sebagai bangsa.

Kita tahu bahwa negeri ini juga sedang menyaksikan ancaman serius terhadap kamnas yang datang dari kelompok jihadi dan takfiri, berupa aksi-aksi terorisme. Ancaman itu bukan mereda tetapi sebaliknya. Kemarin (25/12/16), ketika ummat Kristiani di seluruh dunia, termasuk Indonesia, sedang merayakan Natal, di Jatiluhur, Jabar, terjadi penggerebekan terhadap para teroris yang diduga merupakan sel ISIS di Indonesia. Hasilnya dua teroris tewas dan dua lagi ditangkap. Beberapa hari sebelumnya kita juga menyaksikan penggerebekan kelompok sel teroris ISI di Tangsel, yang hasilnya tiga teroris tewas dan seorang ditangkap. Mengapa aksi-aksi terorisme menunjukkan geliatnya yang kian kuat akhir-akhir ini?

Sepintas memang tak ada kaitan antara satu dengan yang lain. Namun bagi saya, tak ada peristiwa yang terjadi hanya karena kebetulan saja. Bukan suatu hal yang mengada-ada jika dikatakan bahwa kondisi yang panas dalam masyarakat di negeri ini langsung atau tidak langsung akan dimanfaatkan sebagai katalisator dari aksi terorisme. Sebab kegaduhan dan keributan yang terjadi dalam masyarakat akan membuat situasi politik, sosial, dan keamanan negara makin tak kondusif. Sebuah hipotesa sementara bisa diajukan, yakni semakin banyak kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah primordialisme, termasuk tetapi tak terbatas kepada masalah penistaan agama, maka semakin terbuka pula kesempatan bagi kaum radikal untuk meningkatkan akselerasi gerakan dan aksi-aksi mereka.

Mengapa demikian? Jawabnya adalah karena baik aparat negara yang terkait gakkum maupun keamanan akan disibukkan atau terpecah konsentrasinya untuk menghadapi dan meredam potensi konflik di masyarakat dan pada saat yang sama melakukan penanggulangan terorisme. Sementara masyarakat juga akan lemah tingkat kewaspadaannya jika terus menerus dihadapkan dengan isu-isu primordial dan sektarian. Dengan demikian sel-sel teroris yang ada di dalam negeri kemudian diaktifkan untuk melakukan aksi-aksi insurgensi, termasuk teror.

Karenanya, akan sangat rugi jika bangsa ini kini malah semakin disibukkan dan dipecah dengan isu primordial dan sektarian ini. Pemerintah dan penegak hukum mesti bersikap sangat tegas, karena jika kondisi demikian dibiarkan, sama juga dengan memberi angin segar kepada pihak-pihak yang mencoba menebar teror di masyarakat dan ingin menciptakan gangguan terhadap kamnas. (*)