Kastara.id, Jakarta – Implementasi UU No 23 Tahun 2014 dianggap mengarah pada resentralisasi pemerintahan. Implementasi undang-undang tersebut, di antaranya dapat mengakibatkan pengalihan wewenang yang dimiliki pemerintahan kabupaten/kota ke pemerintahan provinsi. Akibatnya potensi dan kreativitas daerah tidak berkembang dan memunculkan masalah baru di bidang pemerintahan daerah.

Hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komite I DPD RI dengan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) di Ruang Rapat Komite I DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (30/8) sore. Wakil Ketua Komite I Fachrul Razi mengatakan, kebijakan yang dihasilkan dari undang-undang itu akan mencederai cita-cita reformasi di bidang desentralisasi pemerintahan.

“Kebijakan dan wewenang kembali dipusatkan, dimana kebijakan dan wewenang daerah seperti dikembalikan ke pusat. Akibatnya konsep otonomi daerah tidak berkembang,” kata Fachrul Razi.

Menurutnya, keberadaan UU No 23 Tahun 2014 berpotensi menimbulkan bencana politik dan dapat menyebabkan daerah kurang berkembang, bahkan membentuk sistem otoriter dalam pemerintahan. “Dari hasil pengawasan terdapat bencana politik dimana undang-undang nomor 23 membuat proses resentralisasi menjadi negara otoriter baru tanpa disadari terstruktur yang membuat daerah-daerah menjadi stagnan dan potensinya juga tidak berkembang,” ujarnya.

Hal tersebut menjadi perhatian DPD yang menganggap bahwa keberadaan UU tersebut membuat daerah menjadi terkekang. Banyak perda-perda yang dibatalkan menyebabkan kewenangan dan kebijakan pemerintahan daerah dalam hal ini kabupaten/kota menjadi tidak maksimal dalam memajukan daerah.

Sementara Penasehat Khusus APKASI Ryaas Rasyid yang menjadi narasumber dalam RDPU tersebut juga mengemukakan bahwa keberadaan UU 23 Tahun 2014 dapat berpotensi membubarkan eksistensi pemerintahan lokal. Ryaas berpendapat , undang-undang tersebut dapat menimbulkan melawan konsep desentralisasi yand dibangun melalui otonomi daerah.

Fahrul Razi yang pernah menjabat sebagai Wantimpres ini juga mengatakan bahwa perumusan UU No. 23 Tahun 2014 tidak melibatkan pemerintahan kabupaten/kota. Akibatnya banyak kebijakan dari undang-undang tersebut yang justru merugikan pemerintah kabupaten/kota karena banyak wewenang yang ditarik.

Sedangkan Wakil Ketua Komite I Fachrul Razi  mengatakan, APKASI menyayangkan terbitnya UU No 23 Tahun 2014 tersebut. Undang-undang tersebut dianggap mencedarai cita-cita reformasi dan merupakan upaya beberapa pihak mengubah pemerintahan desentralistik ke sentralistik. “Keberadaan undang-undang tersebut juga dikeluhkan oleh banyak kepala daerah di tingkat kabupaten. APKASI telah melakukan judicial review terhadap undangundang tersebut kepada MK,” katanya.

Menurut Sokhiatulo, keberadaan UU tersebut menimbulkan beberapa masalah di daerah. Contohnya di bidang pendidikan, orang tua dan siswa serta guru berteriak karena wewenang pengelolaan pendidikan ditarik ke provinsi. Beban biaya menjadi naik dan guru banyak yang dimutasi ke wilayah lain oleh provinsi.

Untuk di bidang perikanan, tidak ada pembinaan dan dukungan program dan bantuan pendanaan. Bidang pertambangan, menghadirkan pengusaha Galian C yang merasa kesulitan dalam mengurus perijinan yang dialihkan ke provinsi. Selain jauh, juga tidak koordinasi yang baik sehingga pengusaha kebingungan. Bidang infrastruktur, adanya aturan tersebut mengalihkan operasional tipe A yang telah dibangun pemkot dengan dana miliaran rupiah diserahkan ke pemprov. (rya)