Tri Rismaharini

Kastara.ID, Jakarta – Menteri Sosial Tri Rismaharini blusukan di bantaran Kali Ciliwung, Matraman, Jakarta. Saat blusukan, Risma menyempatkan berdialog dengan para pemulung dan mengajaknya ikut program Kementerian Sosial.

Bulusukan Risma tersebut mendapat perhatian dari Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M. Jamiluddin Ritonga dalam keterangannya kepada Kastara.ID, Rabu (30/12)

Ia melihat blusukan yang dilakukan Risma mengingatkan kita pada Jokowi ketika awal menjadi Gubernur DKI Jakarta. Saat Jokowi blusukan dan dipublis banyak media, maka segera masyarakat menyampaikan puja-puja.

“Risma dengan blusukannya juga mendapat puja-puja dari sebagian masyarakat. Meskipun tak sedikit yang mempertanyakan urgensi blusukan Risma bagi Kementerian Sosial,” ujar pria yang kerap disapa Jamil ini.

Kalau tujuan untuk belanja masalah, Risma sebenarnya dapat blusukan dalam senyap tanpa membawa wartawan. Tanpa hingar bingar wartawan, Risma akan dapat informasi yang riil.

“Masalahnya, apakah Risma mau blusukan tanpa membawa gerbong wartawan? Kalau Risma mau, berarti blusulan yang dilakukannya tidak ada motif pencitraan,” tandas penulis buku Riset Kehumasan ini.

Kalau memang motifnya pencitraan, lanjut Jamil, maka pola blusukan itu akan terus dilakukannya. “Bahkan tidak menutup kemungkinan pola itu akan terus dilakukan Risma untuk pencalonannya pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2022,” prediksi Jamil.

Kalau itu arahnya, maka Risma akan menargetkan Gubernur DKI Jakarta sebagai jabatan antara. Jabatan utama yang akan digapainya adalah RI 1 atau RI 2 pada pilpres 2024.

Jamil juga memprediksi Risma akan mengikuti pola blusukan Jokowi untuk bisa masuk Jakarta. Kalau target itu dapat dicapai, maka pola yang sama juga berpeluang dilakukan Risma untuk menjadi capres atau cawapres.

“Jadi, blusukan yang dilakukan Risma di Jakarta bukanlah untuk belanja masalah. Sebab, di Kementerian Sosial sudah cukup banyak data yang terkait orang miskin. Risma cukup mengundang semua eselon 1 dan eselon 2 untuk memetakan persoalan di Kementerian Sosial,” ungkap pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini.

Kalau hal itu dinilai kurang, Jamil melihat Risma sesungguhnya bisa juga mengundang semua Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota. Melalui kepala dinas sosial, Risma akan dapat mempertajam pemetaan sosial di Indonesia.

“Dari pemetaan itu, Risma dapat menentukan regulasi apa saja yang diperlukan agar masalah sosial dapat diatasi. Regulasi inilah yang menjadi kapasitas menteri, bukan blusukan,” imbuhnya.

Jadi, Jamil justru melihat blusukan ala Risma lebih pada pencitraan, bukan untuk belanja masalah. Risma melakukan blusukan tampaknya ingin mengikuti pola Jokowi, yang sekarang sudah jarang dilakukan Jokowi.

“Karena itu, pola blusukan bukan lagi magnet untuk meningkatkan citra diri. Masyarakat sudah tahu, blusukan ala pejabat bukan lagi murni, tapi hanya untuk pencitraan,” pungkas mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999 ini. (jie)