M Rizal Fadillah

Oleh: M Rizal Fadillah

BELUM jelas detail kasus bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar yang berlanjut pada penggerebegan Condet dengan barang bukti aneh buku fisika, soal 212, hingga atribut FPI, kini muncul lagi cerita teloris baru di Mabes Polri. Wanita berjilbab yang ditembak polisi hingga tewas.

Adalah Zakiah Aini konon mahasiswi yang masuk ke area Mabes Polri dengan membawa pistol berjalan bolak balik seperti linglung yang kemudian roboh ditembak entah dari posisi mana. Framing media menyebut bahwa Mabes Polri diserang. Luar biasa, cepat terbuka identitas wanita ini dari riwayat hidup hingga surat wasiat soal jangan ikut pemilu dan thagut segala.

Penembak jitu memang jitu, publik tentu berharap wanita ini dilumpuhkan apakah kakinya yang ditembak atau dengan granat gas air mata sehingga yang bersangkutan dapat ditangkap dan diinterogasi. Apa motif dan bagaimana bisa masuk bawa senjata. Benarkah teroris atau orang gila yang dipandu dan dijebak?

Melumpuhkan hanya satu orang perempuan bukan hal sulit bagi aparat keamanan profesional tanpa harus membunuh. Mabes Polri tentu memiliki banyak personil yang berkualifikasi nasional, bahkan internasional.

Ketika peluru diarahkan kepada organ yang mematikan, ya selesai sudah. Selanjutnya keterangan ini dan itu, jaringan teroris ini dan itu juga. Dapat dikaitkan dengan FPI dan 212 mungkin.
Publik curiga ini bagian dari skenario entah siapa. Matinya obyek adalah target sehingga cerita bisa dirangkai dan dijahit agar menarik dan dapat menjadi mainan berkelanjutan.

Media memberi predikat “teroris serang Mabes Polri” tanpa ada penjelasan resmi dari Mabes Polri sendiri yang masih berposisi “mendalami” peristiwa penembakan. Pertanyaan muncul apakah wanita ini teroris atau teloris, membuat takut atau produk yang dikeluarkan untuk ditetaskan berulang. Telor yang semakin banyak.

Bila diperhatikan lebih dalam pada peristiwa bom bunuh diri Makassar dan terbunuhnya perempuan di Mabes Polri, maka si pelaku terlihat “tidak cerdas”, “tidak bervisi”, “tidak ada pesan” dari aksinya. Di sisi lain simbol-simbol Islam dilekatkan. Sehingga lebih kuat pada pencitraan ketimbang pesan teror. Citra untuk merusak umat Islam dengan berbagai atribut yang dilekatkan.

Dengan minim pesan teror dan lebih kuat pada aspek pencitraan maka sebagian publik menilai hal ini bukanlah suatu terorisme tapi telorisme. Ada oknum penghasil, perekayasa, dan pengendali aksi. Inilah yang semestinya dibongkar. Mabes Polri tentu mampu memantau dan membasmi ayam, bebek, atau hewan lain yang telah menelurkan para teloris ini. Bukan mustahil jika ada oknum yang terlibat.

Sekali-kali teloris itu pakai simbol agama lain dong biar adil. Sangat bagus dan menarik jika memakai pakaian adat, agar tergambar negara ini ber-bhineka tinggal Ika. Bukankah pada tanggal 21 April yang akan datang adalah hari Kartini di mana biasanya anak anak memperingati dengan memakai pakaian adat yang beragam?

Jika pabrik teloris bisa ditutup, maka Kartini akan bahagia “habis gelap terbitlah terang” tetapi sebaliknya jika telor-telor itu terus diproduksi maka Kartini akan menangis “habis terang terbitlah gelap”. Negara Indonesia sedang meluncur menuju ruang kegelapan.

Inginkan masa Pemerintahan Jokowi sekarang dikenang sebagai masa kegelapan?

“Nadat het licht in het donker gaat” (habis terang, masuklah gelap). (*)

* Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 1 April 2021