Posreality

Oleh: Mohammad Sabri

PARODI itu sejenis iman yang mengejek. Seorang seniman yakin, parodi adalah cermin buram untuk paras yang letih. Itu  sebab, filsuf Perancis George Bataille menyimpul dengan nada murung, “Dunia tak lebih dari sebuah parodi”. Bagi Bataille, segala yang tampak di kehidupan ini, adalah parodi yang mengandung sindiran terhadap sesuatu. Namun, belakangan sindiran tidak semata ditujukan pada sesuatu yang liyan (other), tapi juga merupakan parodi untuk diri sendiri.

Melalui pusparagam parodi, Bataille secara implisit menunjukkan, dunia—dengan  aneka warna kebudayaannya—dibangun di atas sebuah sistem yang disebutnya “oposisi duaan” (binari opposition): sistem yang terbentuk dari dua unsur yang saling berseberangan, bertabrakan, saling serang, tapi juga saling memberi keseimbangan, saling mengisi, bersifat tertutup, pasti dan tidak berubah baik dalam sistem geofisik, genus, filsafat, seni, maupun bahasa.

Kehidupan bernapas dan eksis sejauh ia memiliki dua unsur yang berhadapan dan saling memparodi: tua/muda, laki-laki/perempuan, siang/malam, panas/dingin, dan seterusnya sebagaimana bahasa eksis disebabkan kata “asli” artinya “bukan palsu” dan kata “menang” artinya “bukan kalah”.

Bataille mendaku, parodi mengakibatkan terjadinya interupsi yang dapat mengguncang sistem keseimbangan geofisik, genus, filosofis, bahasa, maupun seni. Dunia kita kini tengah mengalami perubahan radikal dan simultan pada “penampakan” (appearance) paras dunia, disebabkan terjadinya interupsi pada paras kota, paras keluarga, paras pendidikan, paras politik, paras hukum, paras kebudayaan, paras agama, dan paras kita sendiri.

Dunia kini seolah-olah memiliki “gravitasi dan sistem satelit” baru, yang merupakan parodi dan pesaing sistem gravitasi dan satelit semesta. Sedemikian  rupa sehingga ia menjadi semacam “sukma zaman” (zeitgeist): semangat total dan simultan yang berhasrat mengubah, mendekonstruksi, dan memparodi semesta, serta menciptakan ‘semesta tandingan’ berupa kebudayaan materi dalam bentuk komoditi.

Terkait dengan itu, filsuf Jean Baudrillard dalam karya monumentalnya Simulation (1983), membagi tiga tahapan penampakan paras dunia: counterfeit, production, dan simulation. Pertama, counterfeit adalah fase dominan di zaman klasik, abad pertengahan hingga revolusi industri yang mengandaikan “produksi bebas” tanda, fashion, model, menggeser pertandaan kasta atau iklan yang bersifat represif dan hegemonik. Kedua, production, pola dominan di era industri yang ditandai dengan otomatisasi produksi dan “universalisme” nilai-nilai. Di titik ini, manusia disuguhkan aneka pilihan penampakan gaya dan gaya hidup, namun pilihan tersebut dirumuskan kaum kapitalis.

Ketiga, simulation, adalah pola kehidupan dewasa ini yang dikontrol oleh jagat kode dan semesta realitas buatan (posrealitas). Fase ini ditandai dengan berkembangnya demokratisasi yang ekstrem dalam dunia penampakan, di mana manusia tidak saja mendapatkan kebebasan dalam memilih gaya dan gaya hidup, tapi bahkan diberi peluang besar untuk menciptakan penampakan berbagai simulasi dan parodi dirinya sendiri.

Dunia penampakan simulasi yang beciri parodik ini ditandai dengan kegaduhan, kesimpangsiuran, penyalahgunaan dan pembajakan “tanda”. Lihatlah fenomena “saling bajak” dunia tanda antara laki-laki dan perempuan. Mereka saling memparodi tanda dan identitas: Laki-laki masa kini memakai anting, gelang, cat kuku, ikat rambut, tindik, dan seterusnya sebagai pembajakan identitas feminitas. Sebaliknya, wanita masa kini mengikuti body building, main sepak bola, angkat besi, mengenakan celana jeans cowboy, menyetir mobil balap, sebagai suatu pembajakan tanda dan identitas maskulinitas.

Dalam kehidupan sosial politik kita, fenomena saling bajak dan saling memparodi kini tengah berlangsung dengan intens lalu menampilkan paras yang saling meniadakan. Hadirnya partai atau ormas “tandingan”, sejatinya lebih merupakan parodi dari partai atau ormas itu sendiri.

Demikian juga halnya dengan dunia akademik. Pendidikan kini tidak lagi semata-mata berkaitan dengan ikhtiar pengembangan peradaban intelektualitas, kearifan dan moralitas, tapi lebih pada upaya menyiapkan manusia menjadi komoditi, memanifestasikan diri melalui citra cermin sistem ekonomi, yang siap masuk ke dalam sistem kekuasaan kapital pasar global dan gemuruh perubahan gaya hidup hedonis. Pendidikan super kilat MBA, magister, dan doktoral dengan biaya yang melambung adalah komodifikasi dan parodi dari pendidikan itu sendiri.

Abainya manusia terhadap norma “abstrak”—agama, moralitas, mitos, ideologi—telah mengalihkan perhatian manusia pada norma “kongkret” berupa norma komoditi, informasi, media massa, dan media sosial yang dijadikan seolah-olah sebagai episentrum baru—sebuah arus di mana seluruh aspek kehidupan berpusat. Hampir seluruh aspek kehidupan menjadi semacam teater dan tontonan massal yang dipentaskan di atas panggung kapitalisme. Sehingga, tak kurang dari Guy Debord dalam The Society of Spectacle (1987), menyebut masyarakat dunia kini sebagai “masyarakat tontonan”.

Di sini, manusia tengah memparodi dirinya secara radikal, akibat dari krisis kepercayaan terhadap autentisitas diri. Manusia kini lebih percaya pada apa yang dikenal dalam psikoanalisis sebagai “citra cermin”, meski buramTapi inilah parodi: tontonan yang menjungkalkan realitas autentik ke dalam kubangan lumpur posrealitas yang guyah, banal, dan instan. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).