Kastara.id, Jakarta – Anggota Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong mengatakan, hingga kini belum ada peraturan yang menyebutkan dibolehkannya dana haji untuk diinvestasikan di sektor infrastruktur.

Menurut Taher, prinsip pengelolaan haji itu berazaskan syariah, berprinsip kehati-hatian,, bermanfaat, nirlaba, transparan, dan yang terakhir adalah akuntabel.

“Kalau penggunaan dana itu diberikan kepada pemerintah, seumpama dibolehkan, kemudian yang menjalankan kegiatan infrastruktur larinya pasti kepada BUMN. Pertanyaannya apakah selama ini politik Anggaran BUMN adalah untung atau rugi?” kata Taher dalam diskusi Forum Legislasi ‘Investasi Infrastruktur bertentangan dengan UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji?’ di gedung Parlemen, Selasa (1/8).

Jadi, kata Taher, DPR khususnya Komisi VIII bukan menolak, tetapi memang prinsip kehati-hatian, prinsip syariah, dan nilai manfaat yang harus dikedepankan. “Inilah yang harus kita kedepankan secara benar, baik, berdasarkan undang-undang. Bukannya kita menolak,” ujar Taher.

Apalagi, katanya, peraturan pemerintah mengenai investasi ini belum ada. Terlebih BPKH belum punya kantor yang jelas,

“DPR hanya bisa mengawasi lewat BPK karena badan yang ditugaskan mengelola haji itu belum punya badan pengawas,” kata Taher lagi.

Sementara itu Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorum Niam mengatakan, dana haji bisa saja diinvestasikan asalkan memenuhi syarat, di antaranya aman dan syariah. Hal ini pernah dilakukan di era Presiden SBY. Dana haji diinvestasikan di Sukuk yaitu surat utang negara (SBN).

“Asumsinya, surat utang negara itu syariah dan aman sebab yang punya negara. Yang punya negara, kemudian ini biayai negara untuk kepentingan pembiayaan negara, yang gak ada masalah, aman itu, kecuali negaranya bangkrut dan setelah itu negara itu dijual,” ujarnya.

Makanya Niam menilai hiruk-pikuk bukan persoalan boleh atau tidaknya dana haji dinveatasikan di infrastruktur. Kalau secara syariah dari 2012 itu sudah ada dan pernah dilakukan.

Persoalannya pada aspek ketidakpercayaan (untrust) kepada pemerintah. ”Lha wong dana APBN aja dikeruk dibuat bancakan. Jangan-jangan dana umat dibuat bancakan juga. Ini artinya bukan persoalan aspek substantifnya, tetapi pada aspek ketidakpercayaan orang yang mengelola,” kata Niam.

Menurut Niam, idealnya orang yang diberikan amanah adalah orang yang terpercaya. Terpercaya itu dua kategori, dia kompeten dan kredibel. Dan orang BPKH itu kompeten, ada ekonom, ada ahli fiskal, ada pengusaha. Tetapi soal kredibilitas masih dipertanyakan, apalagi dikaitkan dengan tarik-menarik peta politik 2019. (arya)