Papua

Kastara.id, Jakarta – Majelis Rakyat Papua (MRP) mengadukan kasus PT Freeport Indoensia (FI) ke Majelis Rakyat Papua terkait putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan penghapusan pajak air senilai Rp 3,9 triliun. Padahal, Pengadilan Pajak 2017 telah memerintahkan Freeport untuk membayar Rp 2,5 triliun.

Karena itu sebanyak 51 anggota MRP yang dipimpin oleh Ketua MRP Timotius Murib mengadukan masalah tersebut ke DPD RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/8).

Mereka diterima Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang, Wakil Ketua Nono Sampono, dan anggota DPD RI dari Papua Carles Simaremare, Parlindungan Purba (Sumut), dan Plt Sekjen DPD RI Ma’ruf Cahyono.

Dari pihak pemerintah hadir perwakilan Kemendagri, Kemenkeu RI, Dirjen Pajak RI, Kementerian ESDM RI, dan lain-lain.

Dalam konsultasi tersebut Oesman Sapta menegaskan jika semua masalah itu mesti diselesaikan secara musyawarah-mufakat. “DPD menghormati putusan MA dan ini menjadi pelajaran bersama bahwa hubungan pemerintah pusat dengan daerah belum selesai. Sehingga putusan MA yang membatalkan putusan pengadilan pajak tahun 2017 itu tidak sepenuhnya cermat,” kata OSO.

Dengan kebijakan otonomi daerah dan otonomi khusus (Otsus) bagi Papua, masalah pajak air itu menjadi kewenangan Pemprov Papua dan sudah diserahkan ke daerah. “Putusan MA itu berarti masih terjadi disharmonisasi aturan kewenangan sehingga perlu disingkronkan agar tidak menimbulkan masalah lain di kemudian hari,” jelas Wakil Ketua MPR RI itu.

Karena itu OSO berjanji akan berusaha sebaik-baiknya dan seadil-adilnya menyelesaikan masalah ini demi kepentingan rakyat Papua, kepentingan daerah, bangsa, dan negara. “Jadi, masalah daerah ini tidak boleh dianggap sepela. Seharusnya masalah air ini diserahkan ke Pemerintah Provinsi Papua,” tambah OSO.

Sementara itu, anggota DPD RI Charles Simare-mare mengaku ada itikad baik dari Freeport terkait pajak atas air. Makanya untuk mempercepat pelaksanaan pembayaran tersebut, DPD mengumpulkan semua pihak yang terkait. “Itulah bijaknya Pimpinan DPD, rapat membahas masalah itu tidak bertele-tele dan meminta antara Pemprov, MRP, dan Freeport segera rapat lagi, mengambil keputusan,” ungkapnya.

Menurut Charles, Freeport bukan tak mau membayar, karena belum ada titik temu soal berapa nilai wajar yang harus dibayar. “Tinggal soal angka saja, berapa titik temunya. Artinya, soal teknis saja bagaimana cara pembayararannya. Mungkin dalam beberapa hari selesai,” tambahnya.

Alotnya Freeport Indonesia membayar pajak air, kata Charles, karena selama ini Freeport masih beranggapan bahwa pembayaran pajak hanya kepada pemerintah pusat, bukan kepada Pemprov Papua. “Memang harusnya mereka menghormati juga UU Otonomi Daerah, karena itu harus dipahami oleh Freeport Indonesia,” terangnya.

Sebelumnya pada April 2018 lalu, MA mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) PT Freeport Indonesia tentang pajak air tanah untuk Provinsi Papua senilai Rp 2,5 triliun.

Hal itu karena putusan Pengadilan Pajak bertentangan dengan peraturan yang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Alasan itulah yang menyebabkan MA menerima permohonan PK PT Freeport tersebut itu.

Dengan demikian, Timotius Murib berterima kasih kepada DPD RI, yang bersedia membantu untuk menyelesaikan pajar air yang harus dibayar oleh PT Freeport tersebut. “Kami datang dengan 51 anggota MRP plus staf ahli MRP. Sehingga kehadiran seluruh anggota MRP ini tidak main-main untuk memperjuangkan hak-hak warga asli Papua sebagai makhluk Tuhan YME,” ujarnya.

Karena itu Timotius mendesak DPD RI dan DPR RI bersama-sama pemerintah untuk segera melakukan pertemuan dengan PT Freeport Indonesia guna mengamandemen dalam bentuk adendum terhadap kontrak karya PT Freeport agar rakyat Papua bisa menikmati manfaat sosial–ekonomis secara adil dan bermartabat atas dasar prinsip HAM termasuk menjadi pemegang saham PT Freeport. (danu)