Djoko Tjandra Sugiarto

Kastara.ID, Jakarta – Mungkin tanggal 30 Juli 2020 jadi hari yang tidak akan terlupakan bagi Djoko Sugiarto Tjandra. Pada hari itu, pelarian pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat, 27 Agustus 1950 tersebut akhirnya terhenti. Dia ditangkap oleh Kepolisian RI (Polri) di Kuala Lumpur, Malaysia, tepat sehari sebelum hari Idul Adha 1441 Hijriah.

Djoko Tjandra atau Tjan Kok Hui ditangkap tim Polri yang dipimpin Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komjen Listyo Sigit dengan dibantu Polisi Diraja Malaysia. Djoko Tjandra langsung dibawa pulang ke Indonesia untuk diadili terkait kasus pengalihan hak tagih (cessie) antara PT Era Giat Prima (EGP) miliknya dengan Bank Bali pada Januari 1999.

Buronan yang telah kabur selama 11 tahun itu tiba pada pukul 22.40 WIB di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, bersamaan terdengarnya gemar takbir yang menyambut datangnya Hari Raya Kurban.

Dilansir Antara, kasus yang menjerat Djoko Tjandra bermula ketika dirinya membuat perjanjian yang ditujukan untuk mencairkan piutang Bank Bali pada tiga bank, yakni Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional, dan Bank Bira, senilai Rp3 triliun.

Namun, yang bisa dicairkan oleh EGP setelah diverifikasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) hanya sebesar Rp 904 miliar dari nilai transaksi Rp 1,27 triliun di BDNI. Pencairan piutang itu juga melibatkan BPPN yang meminta Bank Indonesia melakukan pembayaran dana tersebut.

Kasus ini kemudian mencuat setelah muncul dugaan praktik suap dan korupsi dalam proses pencairan piutangnya dengan tiga tersangka, yakni Pande Lubis selaku Wakil Ketua BPPN, Syahril Sabirin selaku Gubernur Bank Indonesia, dan Djoko Tjandra selaku pemilik EGP.

Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan membebaskan Djoko Tjandra pada 28 Agustus 2000. Majelis Hakim PN Jakarta Selatan juga menyatakan uang sebesar Rp 546,46 miliar dikembalikan kepada perusahaan milik Joko, PT EGP. Sedangkan uang sebesar Rp 28,75 juta dikembalikan kepada Tjandra sebagai pribadi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Antasari Azhar sempat mengajukan kasasi, meskipun akhirnya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).

Sementara tersangka kedua, Pande Lubis, juga dibebaskan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan pada 23 November 2000. Akan tetapi, pada tingkat kasasi, MA menganggap putusan itu salah dan mengganjar Pande empat tahun penjara. Sedangkan Syahril Sabirin dibebaskan.

Putusan MA tersebut tidak membahas soal uang senilai Rp 546,46 miliar yang dijadikan barang bukti. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) saat itu, Marwan Effendy, mengatakan pihaknya mendapat penawaran dari Djoko Tjandra untuk mengembalikan uang Rp 546,46 miliar tersebut asal Kejaksaan mencabut pengajuan Peninjauan Kembali (PK) kasus Bank Bali.

Namun, Jaksa Agung saat itu, Hendarman Supandji, tetap mengajukan PK ke PN Jakarta Selatan setelah putusan kasasi MA pada Juni 2001 yang memenangkan dan membebaskan Djoko Tjandra dari dakwaan.

Di lain pihak, dalam persidangan kasus suap USD 660 ribu terhadap jaksa Urip Tri Gunawan, terungkap rekaman pembicaraan antara pengusaha Artalyta Suryani (Ayin) dan Kemas Yahya Rahman ketika masih menjadi Jampidsus. Keduanya membicarakan tentang “Joker” yang diduga adalah Djoko Tjandra yang sedang berperkara di Kejaksaan Agung.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian menyampaikan surat bernomor R1141/01/2008 tertanggal 24 April 2008 yang ditandatangani Wakil Ketua KPK saat itu, Bibit Samad Riyanto, untuk pencegahan Djoko Tjandra terkait penyidikan kasus jaksa Urip Tri Gunawan. Namun, tidak disebutkan status Djoko Tjandra, apakah sebagai saksi atau tersangka.

Dalam surat cekal bernomor 110/01/IV/2008 disebutkan Djoko Tjandra dicegah bepergian dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama PT Mulia Intan Lestari. Namun, KPK kemudian mencabut status pencegahan karena kurang alat bukti pada November 2008.

Selanjutnya, Polri memeriksa para pimpinan KPK terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan dan pencabutan status pencegahan terhadap Djoko Tjandra. Dua pimpinan KPK, yakni Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, diperiksa selama delapan jam sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang di Mabes Polri, Jakarta, 16 September 2009.

Sebelumnya, MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh Kejaksaan Agung untuk Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin sehingga keduanya masing-masing dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 15 juta.

Dalam petikan putusan MA nomor: 12PK/Pid.Sus/2009 pada 11 Juni 2009 untuk Djoko Tjandra, disebutkan bahwa barang bukti berupa uang yang ada dalam rekening penampung atas nama rekening Bank Bali sejumlah Rp 546,468 miliar dirampas untuk dikembalikan ke negara.

Namun, satu hari sebelum putusan dikabulkannya permohonan PK yang diajukan Kejaksaan Agung oleh MA pada 11 Juni 2009, Djoko Tjandra sudah kabur terlebih dulu ke Papua Nugini menggunakan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada 10 Juni 2009.

Kini, 11 tahun berlalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan bahwa terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali yang telah buron bertahun-tahun itu telah kembali ke Tanah Air pada 8 Juni 2020 untuk mendaftarkan PK ke PN Jakarta Selatan.

Hal tersebut ia sampaikan dalam rapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen RI Senayan Jakarta, 29 Juni 2020 lalu. Saat itu, Jaksa Agung ST Burhanudin merasa heran kenapa Djoko Tjandra bisa masuk ke Indonesia. Padahal, menurut aturan pencekalan, hal tersebut seharusnya tidak terjadi.

Terkait itu, menurut penuturan Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Jhoni Ginting dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI pada 13 Juli 2020, petugas Imigrasi tidak mengetahui bahwa Djoko Tjandra berstatus buronan. Dirinya beralasan petugas yang bertugas kala itu baru lulus studi.

“Kalau dia masih 20 tahun, 23 tahun, baru lulus, dia enggak akan kenal ini Djoko Tjandra pagi-pagi datang,” kata Jhoni Ginting.

Lebih lanjut Jhoni Ginting mengungkapkan, Djoko Tjandra kemudian membuat paspor ke Kantor Imigrasi Jakarta Utara pada pukul 08.00 WIB pagi dan paspornya rampung satu hari berikutnya atau pada 23 Juni 2020.

Lalu paspor buronan Kasus Bank Bali tersebut diambil oleh seseorang yang membawa surat kuasa. Selanjutnya, paspor diminta Imigrasi untuk dipulangkan pada 27 Juni 2020 dengan mengirim surat resmi ke rumah Djoko Tjandra, setelah Imigrasi mendapatkan surat dari Kejaksaan Agung.

“Karena rumahnya kosong, kami titipkan suratnya kepada RT/RW setempat. Ketemu juga dengan orang Kejaksaan di sana, Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Mereka melakukan, kami juga melakukan,” terang Jhoni Ginting.

Ternyata, kata dia, paspor tersebut betul-betul dipulangkan oleh Djoko Tjandra ke Imigrasi via pos tertanggal 5 Juli 2020. Jhoni Ginting pun mengaku heran, karena dari petunjuk pada paspor, paspor baru tersebut belum pernah dipergunakan karena tidak ditemukan cap stempel Imigrasi.

Artinya, berdasarkan petunjuk yang ditemukan pada paspor, secara de jure, Djoko Tjandra dianggap tidak keluar dari Indonesia. Sementara secara de facto, Djoko Tjandra bisa ada di mana saja.

Sementara itu, Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo, Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte, dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet diduga terkait dengan kasus masuknya Djoko Tjandra ke Indonesia.

Ketiganya pun langsung dimutasi jabatan oleh Kapolri Jenderal Idham Azis. Berdasarkan hasil penyelidikan, Prasetijo Utomo diketahui mengeluarkan surat jalan untuk Djoko Tjandra atas inisiatif sendiri tanpa seizin pimpinan. Tak hanya itu, pemberian surat keterangan sehat bebas Covid-19 untuk Djoko Tjandra juga melibatkan Prasetijo Utomo.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono, orang yang mendatangi RS Polri Said Sukanto, Jakarta, untuk melakukan rapid test terkait permintaan surat keterangan sehat bebas Covid-19 untuk Djoko Tjandra, bukanlah Djoko Tjandra sendiri. Namun orang tersebut mengaku sebagai Djoko Tjandra.

“Ada dua orang yang datang ke RS Kramat Jati (RS Said Sukanto), kemudian diterima oleh dokter dan dilakukan rapid test, hasilnya nonreaktif. Orang itu menyebut atas nama Djoko Tjandra. Tidak menunjukkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) ya, karena di situ ada Brigjen PU (Prasetijo Utomo) yang mendampingi,” ujar Argo Yuwono.

Dengan surat jalan tersebut, Djoko Tjandra diduga melakukan perjalanan ke Pontianak, Kalimantan Barat, untuk kemudian terbang dengan pesawat pribadi ke Malaysia. Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo pun ditetapkan statusnya sebagai tersangka atas kaburnya terpidana Djoko Tjandra.

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan bahwa pada 20 Juli 2020, Kabareskrim Komjen Listyo Sigit mendatanginya untuk memberitahu skenario penangkapan kembali Djoko Tjandra.

“Saya diberitahu tanggal 20 itu (Listyo Sigit) akan bertemu siapa, bagaimana menangkapnya (Djoko Tjandra). Sehingga sejak siang tanggal 20 itu, saya menganggap tugas saya sudah 90 persen lah, sudah selesai tinggal koordinasi,” katanya.

Menko Polhukam pun percaya pada waktu itu bahwa operasi senyap yang hanya diketahui oleh empat orang saja, yakni dirinya, Kabareskrim Komjen Listyo Sigit, Kapolri Jenderal Idham Azis, dan Presiden Joko Widodo, tersebut akan berhasil.

Dan terbukti, 10 hari berselang, Kabareskrim Komjen Listyo Sigit pun berhasil menuntaskan tugasnya pada Kamis (30/7) malam, dengan membawa pulang Djoko Tjandra ke Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

“Alhamdulillah berkat kerja sama Bareskrim dan Polisi Diraja Malaysia, Djoko Tjandra sudah berhasil kami tangkap,” tuturnya.

Kini, Kejaksaan Agung telah mengeksekusi Djoko Tjandra dan akan langsung ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Salemba cabang Mabes Polri untuk menjalani vonis hukuman yang dijatuhkan kepadanya oleh MA, yakni 2 tahun penjara.

Tidak berhenti di sini, Kabareskrim Komjen Listyo Sigit berkomitmen akan tetap mengusut tuntas perkara pelarian Djoko Tjandra dan membuka penyelidikan terkait dugaan adanya aliran uang ke sejumlah pihak. (ant)