Oleh: Muhammad AS Hikam

Salah satu penyebab utama terjadinya kegaduhan dalam masyarakat Indonesia terkait program pengampunan pajak atau tax amnesty adalah komunikasi publik yang amburadul. Ketika saya semalam (30/8) menyimak acara “Indonesia Lawyer Club” (ILC) di TV One dengan tema terkait tax amnesty, saya makin diyakinkan oleh berbagai pandangan, dan juga perdebatan yang terjadi, dari para nara sumber di acara tersebut. Persoalan “communication breakdown” itulah akar masalah yang paling penting dan memerlukan perbaikan secara komprehensif.

Mengapa? Karena kalau ditilik dari masalah substansi tax amnesty, baik landasan konstitusi, legislasi, politik, etik, maupun kepentingan strategis nasional, program tersebut memiliki landasan kuat dan justifikasi yang bagus. Bahwa di sana-sini ada berbagai perbedaan pandangan, itu wajar saja dalam sistem demokrasi dan malah positif.

Namun secara mendasar posisi pemerintah sangat kuat untuk membuat kebijakan tersebut. Masalahnya, dalam pelaksanaan di lapangan sejak tax amnesty diluncurkan, ekspektasi pemerintah bahwa kebijakan tersebut akan disambut antusias dan menghasilkan dukungan kuat dari publik ternyata berantakan. Tambahan pula, berbagai prediksi pesimis tentang capaian tax amnesty pun telah dilontarkan oleh para pakar ekonomi, politisi, dan lain-lain.

Alih-alih, yang terjadi adalah kegaduhan dan bahkan penolakan yang semakin marak, massif, dan lintas kelompok masyarakat dari yang paling atas sampai bawah. Dan, naga-naganya, ia mulai mengarah menjadi politisasi yang bisa memukul balik (backlash) kredibilitas pemerintah dan Presiden Jokowi sendiri.

Maka tampaklah bahwa komunikasi publik yang digunakan oleh pemerintah memang tidak efektif, bahkan amburadul. Respon pemerintah lebih banyak berbentuk reaksi spontan ketimbang sebuah penanganan yang sistematis. Mensesneg Pramono Anung, misalnya, menengarai adanya apa yang disebutnya dengan ‘viralisasi’ opini distortif tentang tax amnesty seakan-akan menarget rakyat kecil. Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla juga berusaha turun tangan meredakan kegaduhan dengan membuat berbagai pernyataan yang berisi klarifikasi dan pelurusan terhadap berbagai distorsi serta kesalahpahaman di ranah publik tentang tax amnesty. Pejabat Dirjen Pajak segera pun diperintahkan membuat peraturan yang isinya dimaksudkan memberikan klarifikasi yang bisa meluruskan distorsi informasi di ranah publik dan meredakan kegaduhan.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para petinggi negara dan pejabat yang terkait dengan tax amnesty, saya belum yakin bahwa kegaduhan akan dapat diatasi jika model komunikasi publik yang digunakan adalah hanya reaktif seperti itu. Sebab komunikasi publik yang baik dan efektif bukan saja memerlukan SDM handal, kecanggihan teknis, dan kampanye media yang baik, tetapi juga mesti dilandasi oleh rasa saling percaya antara kedua belah pihak yang berkomunikasi, dalam hal ini pemerintah dan publik (public trust) yang menjadi subyek dan obyek tax amnesty.

Dan public trust tersebut hanya akan tercapai jika ada pemahaman yang sama, walaupun bukan berarti persetujuan total antara semua pihak. Pemahaman yang sama terjadi jika pembuktian secara empiris dan konsistensi terjaga serta bisa diketahui secara terbuka dan diperbincangkan secara bebas. Inilah yang disebut oleh Juergen Habermas, filsuf kondang dari Jerman, dengan landasan ideal dan normatif dari komunikasi, termasuk komunikasi publik.

Kelemahan komunikasi publik dari program tax amnesty adalah dalam membangun, mempertahankan, dan menyebarluaskan public trust tersebut. Sejak tax amnesty dirumuskan dan kemudian menjadi UU dan dilaksanakan, persoalan pembangunan kepercayaan (trust building) ini tidak digarap secara sistematis. Mungkin hal itu disebabkan karena Pemerintah sangat pede karena kebijakan tax amnesty ini sangat positif dan strategis, maka akan ditanggapi positif, diterima, dan didukung publik secara luas.

Kealpaan dalam membangun public trust inilah yang membuka celah dan memudahkan upaya distorsi tentang tax amnesty di ruang publik dan rentan terhadap manipulasi (termasuk politisasi). Kebijakan publik terkait pajak di manapun adalah ihwal yang secara politis sangat sensitif. Karenanya menciptakan public trust yang solid merupakan persoalan paling dasar dan awal sebelum kebijakan dilaksanakan. Boleh saja undang-undang dan instrumen-instrumen kebijakan lain sudah ada dan baik, tetapi pelaksanaannya memerlukan persiapan yang matang, tidak terkesan ujug-ujug, mendadak, dan asal jadi.

Karena itu, usulan-usulan yang diungkapkan di acara ILC semalam, seperti menunda pelaksanaan tax amnesty; sosialisasi tentang tax amnesty yang lebih luas; dan penegakan hukum terhadap target-target utama tax amnesty, saya rasa positif, dan perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam rangka membangun trust itu. Hal itu akan sangat bermanfaat bagi perbaikan strategi komunikasi publik agar lebih efektif, bukan reaktif dan acak (random). Meminjam ‘meme’ kampanye mantan Presiden AS Bill Clinton yang dibuat dan dipopulerkan oleh James Carville, “It’s economy, stupid!” (Masalahnya di ekonomi, bego!), rasanya tak berlebihan jika dikatakan bahwa akar penyebab kegaduhan tax amnesty bukan terletak pada substansinya, tetapi lebih pada strategi komunikasi publik yang dipakai. “It’s communication, stupid!” (*)