Oleh: Gigin Praginanto

SUNGGUH bertolak belakang antara angka kemiskinan yang disajikan BPS dengan kenyataan. Statistik BPS menunjukkan,  meski cenderung melambat secara persentase dalam beberapa tahun terakhir, kemiskinan menurun secara terus menerus sampai di bawah 10 persen pada saat ini. Pemerintah bahkan memasang target untuk menurunkan tingkat kemiskinan menjadi 9 persen.

Bila dilihat dari menjamurnya kawasan pemukiman berstandar internasional seperti Pantai Indah Kapuk, Kelapa Gading, BSD City, dan Gading Serpong target tersebut memang klop, bahkan mungkin kurang berani. Lihat saja, kini pusat perbelanjaan bintang lima terus menjamur,  sementara mobil-mobil premium makin mudah ditemui di jalanan.

Di wilayah perkotaan seperti Jakarta dan Surabaya, kawasan kumuh terus menyusut. Banyak yang senang dan bangga karena kota mereka tampak lebih indah dan sejahtera. Trotoar yang dulu diramaikan  pedagang kakilima pun tampak lebih bersih dan lengang.

Sayangnya semua itu diiringi dengan menguatnya indikasi kemiskinan. Pak ogah terus bermunculan di berbagai persimpangan jalan, pengamen makin sering ‘menghibur’ pelanggan warung, para pedagang asongan kian ramai di tengah kemacetan jalan, dan berbagai indikasi kemiskinan lainnya. Kenyataan ini tentu saja tak membanggakan, dan  menunjukkan ketimpangan ekonomi terus melebar.

Bagi kaum yang terpinggirkan seperti di atas, garis kemiskinan BPS bagaikan lukisan abstrak yang hanya dimengerti oleh pelukisnya. Bagi mereka terlalu sulit untuk memahami dan menerima garis kemiskinan tersebut sebab memasukkan siapa saja yang berpenghasilan Rp 425.250 atau sekitar Rp 14 ribu per hari ke dalam golongan tidak miskin.

Berdasarkan garis tersebut, para pengemudi ojek online atau ojol yang jumlahnya meningkat tajam belakangan ini tentu tak masuk golongan miskin. Penghasilan mereka di atas garis Kemiskinan BPS. Namun bila disurvei bisa dipastikan, tak satupun dari mereka yang merasa telah terbebas dari kemiskinan berkat pekerjaan sebagai pengendara ojek online.

Maka jangan heran bila banyak orang Indonesia mendukung pernyataan seorang juragan taksi Malaysia bernama Shamsubahrin yang meyatakan bahwa profesi sebagai pengendara ojol tak memberi jaminan masa depan. Ojol, katanya, marak di negara seperti Indonesia karena kemiskinan masih tinggi.

Bila kini pekerjaan sebagai pengemudi ojol kian diburu oleh para pemuda, jelas tak lepas dari pertumbuhan ekonomi yang jauh dari memadai untuk mengakomodasi pertumbuhan tenaga kerja yang mencapai beberapa juta per tahun.

Selain itu, sektor kaki lima (informal) yang menampung sebagian besar tenaga kerja makin sering digusur oleh kepala-kepala daerah yang sangat mementingkan keindahan wilayahnya. Tak mustahil pula ada bisnis di balik penggusuran tersebut.  Yaitu naiknya harga properti yang bisa mendatangkan rezeki berlimpah bagi para investor, terutama mereka yang sudah tahu jauh hari sebelum penggusuran berlangsung. Maka, tak berlebihan kalau dikatakan ada pemiskinan di balik penggusuran.

Runyamnya lagi, kemiskinan di pedesaan kian memprihatinkan akibat ulah para lintah darat, pencabutan subsidi, dan banjir barang pangan impor. Agar sejahtera,  Menteri Pertanian Amran Sulaiman berseru agar para petani bekerja 24 jam sehari. Seruan yang ngawur total! (*)

* Pengamat Kebijakan Publik, Wartawan Senior