Kastara.id, Jakarta – Pimpinan Komisi Yudisial (KY) menyampaikan harapannya agar pelaksanaan reformasi peradilan dilakukan secara mendasar dan bersifat menyeluruh. Tidak terbatas pada ranah eksekutif atau yudikatif saja, tetapi menyangkut berbagai hal karena di peradilan banyak yang terlibat. Untuk itu, pimpinan KY menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar peradilan ke depan itu menjadi peradilan atau pengadil yang modern. 

“Fokus dari Mahkamah Agung (MA) dan peradilan di bawahnya adalah pada aspek yudisial dan pada tugas-tugas yudisial, yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus. Dengan demikian maka tugas-tugas yang bersifat non yudisial, misalnya terkait dengan birokrasi itu bisa dikurangi,” kata Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari kepada wartawan usai bersama jajaran pimpinan KY diterima oleh Presiden Jokowi, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (1/11).

Terkait hal itu, Aidul menjelaskan, pimpinan KY mengusulkan agar ada reorganisasi atau restrukturisasi organisasi Mahkamah Agung karena selama ini ada overlapping, ada tumpang tindih. Terutama terkait dengan dominasi birokrasi di Mahkamah Agung yang menyebabkan Hakim, baik Hakim Agung maupun Hakim di bawah Mahkamah Agung itu tidak memiliki independensi atau berkurang independensinya.

“Itu  mengakibatkan praktik mafia peradilan itu menjadi meluas yang terutama dilakukan oleh para aparatur pengadilan, seperti PNS di lingkungan peradilan maupun Panitera. Tentu saja ini berarti berimbas pada Hakim itu sendiri,” ujar Aidul.

Kepada Presiden, lanjut Aidul, KY juga menyampaikan perlunya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk fasilitas rumah atau perumahan bagi Hakim. Ia menyebutkan, saat ini keadaan perumahan bagi Hakim itu sangat buruk dan tidak layak di banyak daerah. Padahal di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012, disebutkan salah satu fasilitas hakim itu adalah menempati rumah negara.

“Apabila perumahan ini bisa dipenuhi, setidaknya Hakim akan memiliki martabat yang cukup untuk bisa tampil di tengah masyarakat maupun di ruang peradilan. Kenyataannya sekarang jauh sekali. Jadi faktanya banyak Hakim yang bukan kontrak tapi ngekos di tempat-tempat yang sebenarnya juga tidak cukup layak sekalipun mereka tunjangan atau remunerasi ini cukup tinggi,” kata Aidul.

Terkait Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim, menurut Aidul, pihaknya menghendaki agar KY diberi kewenangan. Untuk itu, KY memohon agar ada dukungan dari Presiden, terutama dalam kaitan dengan kepentingan Komisi Yudisial.

Menurut Aidul, kepentingan KY pertama, untuk dilibatkan dalam seluruh proses manajemen Hakim. Yang disebut manajemen hakim, itu mulai dari rekrutmen hakim, bukan  cuma dari rekrumen Hakim Agung tapi rekrutmen Hakim di bawah Mahkamah Agung. Kemudian kedua, promosi mutasi. Ketiga, penilaian profesional atau penilaian kinerja. Keempat, pengawasan. Dan kelima, tentu saja pemberhentian Hakim.

Dalam kaitan itu, lanjut Aidul, secara spesifik pihaknya menghendaki agar pengawasan Hakim terutama terkait dengan kode etik sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada Komisi Yudisial dengan putusan yang bersifat eksekutorial.

“Kenapa ini kami sampaikan, karena demi kepentingan masyarakat itu sendiri bukan kepentingan Komisi Yudisial. Selama ini banyak yang datang ke Komisi Yudisial meminta salinan putusan. Padahal kami tidak bisa mengeluarkan salinan putusan dengan kedudukan kami yang hanya memberikan rekomendasi ke Mahkamah Agung, maka salinan putusan itu adanya di Mahkamah Agung,” ujar Aidul.

Selain itu terkait dengan kedudukan Komisi Yudisial yang menurut konstitusi adalah lembaga yang mandiri, menurut Ketua KY itu, kemandirian itu tentu harus disertai akuntabilitas, salah satunya adalah di dalam putusannya yang harus bersifat eksekutorial.

Kemudian yang terkait dengan peradilan ada peradilan adat, KY mengusulkan kepada Presiden untuk lebih diperkuat karena peradilan adat bisa mengurangi, pertama beban di peradilan umum atau peradilan agama di tingkat bawah, kedua itu sangat bermanfaat untuk mewujudkan atau meningkatkan kerukunan masyarakat.

Menurut Aidul, sebenarnya peradilan adat ini sudah disebutkan di dalam undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa. Sekalipun demikian karena ini bukan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung tentu saja keberadaannya harus diatur berdasarkan undang-undang tentang undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa itu sendiri ini. “Kami sampaikan harus ada peraturan yang mengatur tentang peradilan adat ini,” katanya.

Mengenai pertanyaan Presiden, mana yang harus didahulukan urut-urutannya, Ketua KY itu  menyarankan agar dimulai dari restrukturisasi atau reorganisasi Mahkamah Agung karena ini akan berdampak luas pada kinerja Mahkamah Agung, pada reduksi mafia peradilan di lingkungan Mahkamah Agung, serta peradilan di bawahnya dan tentu saja akan berdampak luas pada penguatan kepercayaan publik. (raf)