Oleh: Jaya Suprana

KETIKA berusia 4 tahun, saya mulai membuat komik dengan tema sepakbola. Ketika berusia 5 tahun, saya mulai menulis dengan tema perilaku serangga yang saya pelihara di insektarium. Bacaan saya pada usia 6 tahun adalah Ensiklopedi Indonesia, yang saya baca dari awal A sampai akhir Z, bukan sebagai referensi namun benar-benar bacaan.

Saya masih ingat bahwa pada masa itu saya senantiasa dicemooh sebagai anak aneh akibat berperilaku aneh, karena memang tidak sama dengan perilaku anak-anak yang dianggap tidak aneh.

Takdir

Ternyata sepanjang hidup saya, memang saya ditakdirkan untuk dicemooh sebagai orang aneh seperti ketika menggagas produk jamu untuk anak-anak, menyelenggarakan festival pianis remaja, festival jamu gendong, festival berdiri diam, festival merayu, festival teman-teman luar biasa, mendirikan MURI, membela PKL dari penggusuran, menyelenggarakan sayembara kartun internasional, Indonesia-Pusaka International Piano Competition, pergelaran wayang orang di Sydney Opera House, Istana Negara, UNESCO, menggagas kelirumologi, humorologi, alasanomologi, malumologi, andaikatamologi, serta yang terbaru adalah angkamologi.

Angkamologi
Wajar gagasan angkamologi ditertawakan sebagai gagasan aneh orang aneh kurang kerjaan, maka berulah mubazir bak menggantang asap, sebab segenap gagasan baru seperti yang pernah digagas oleh Christoforus Columbus, Isaac Newton, Albert Einstein, Bertrand Russel, Charles Darwin, Stephen Hawking, Richard Feynman, Kurt Goedel, Srinivasa Ramanujam juga dianggap aneh. Bahkan gila. Maka, wajar jika angkamologi juga dianggap kerjaan orang aneh bahkan gila.

Adalah kisah tentang Srinavasa Ramanujam yang berhasil agak menghibur saya dianggap aneh dan gila. Konon pada tahun 1919, setahun setelah Perang Dunia I usai, mahaguru matematika Universitas Oxford, Inggris, G.H.

Hardy bezoek Srinavasa Ramanujam yang sedang terbaring di rumah sakit akibat terserang virus nenek-moyang Corona. Setelah tiba di Rumah Sakit, Prof. Hardy minta maaf terlambat menjenguk Ramanujam akibat diajak berputar-putar London oleh sopir taksi dungu tak kenal jalan London sambil menyopir taksi bernomor 1729,  yang menurut Prof.Hardy adalah sebuah angka sama sekali tidak bermakna maka tidak berharga untuk diingat apalagi ditelaah.

Permintaan maaf Prof. Hardy ditolak oleh Ramanujam dengan penjelasan bahwa angka 1.729 adalah, agar tidak keliru menerjemahkan, saya copas sebagai berikut: the smallest number that is the sum of the positive cubes in two different ways.

Dalam bahasa matematikal pernyataan sang mahamatematikawan jenius otodidak India penyandang savant matematikal dapat dibuktikan kebenarannya dengan 10 pangkat 3 ditambah 9 pangkat 3 sama dengan 1.729, sementara 1 pangkat 3 ditambah 12 pangkat 3 ternyata juga sama dengan 1.729.

Makna-Hakikat

Bantahan Srinavasa Ramanujam mempesona Prof. Hardy. Penjelasan pemuda asal Madras, yang diundang ke Inggris oleh Prof. Hardy  untuk bergabung ke Royal Society dan Trinity College, bahwa sebenarnya 1729 memiliki makna matematikal tersendiri, kemudian secara antusias berulang kali dikisahkan kembali oleh Prof. Hardy kepada para sejawat mahamatematikawan di seluruh dunia.

Alhasil kini angka 1.729 menjadi angka paling dipergunjingkan di kalangan para mahamatematikawan yang mampu dan mau memahami makna matematikal angka 1.729. Sekaligus juga membuktikan bahwa pada hakikatnya setiap angka memiliki makna, tergantung yang memaknainya. Bahkan juga berarti bahwa setiap benda maupun tak-benda di alam semesta ini pada hakikatnya memiliki makna masing-masing, yang memang hanya bisa disadari oleh manusia yang mau dan mampu menelaah maknanya. (*)