Adu Domba

Kastara.id, Jakarta – Pendidikan nasional seharusnya mendorong bangsa Indonesia mandiri dan berdaulat, sehingga jika hari ini bangsa Indonesia masih terkooptasi kepada bangsa asing, baik secara politik, ekonomi, maupun kebudayaan, berarti ada sesuatu yang harus dikoreksi dari penyelenggaraan pendidikan nasional.

Demikian disampaikan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon dalam refleksi Hari Pendidikan Nasional tahun 2018 yang dituangkan dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa (2/5).

“Setiap kali kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, yang kita ingat biasanya hanyalah tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara saja. Kita melupakan ajaran-ajaran penting perjuangannya, terutama agar pendidikan nasional kita berangkat dari akar kebudayaan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemerdekaan dan kemanusiaan. Ki Hadjar mendesain Perguruan Tamansiswa sebagai antitesa terhadap sistem pendidikan kolonial yang hanya mengutamakan intelektualitas, individualitas, dan materialitas. Itu merupakan proto sistem pendidikan nasional kita,” ujar Fadli Zon.

“Dulu kita sering mendengar istilah ‘membangun manusia Indonesia seutuhnya’. Meskipun bersifat jargonik, istilah itu sebenarnya tepat. Untuk membangun peradaban, yang pertama kali harus dibangun memang adalah manusianya. Untuk membangun manusia tersebut, ada tiga elemen penting yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan, kebudayaan, dan kepemimpinan. Ketiganya bersifat saling kait mengait, jadi tidak bisa dipisah-pisahkan,” katanya.

Sayangnya, lanjut Fadli, sesudah reformasi, terutama sesudah terbitnya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, desain pendidikan nasional terjebak pada mengejar peringkat belaka. Ini berlaku baik untuk peserta didik, pendidik, maupun institusi pendidikan. Siswa sibuk mengejar nilai ujian nasional yang standarnya terus naik. Guru sibuk mengurusi laporan administrasi sertifikasi. Semuanya kini hanya sibuk mengejar kenaikan peringkat, tapi melupakan esensi pendidikan itu sendiri.

“Coba bayangkan, dosen-dosen perguruan tinggi, misalnya. Mereka kebanyakan memikirkan bagaimana caranya agar bisa menulis di jurnal internasional yang terindeks Scopus. Apakah tulisannya itu memiliki relevansi sosial atau tidak, memberikan inovasi atau tidak, punya manfaat atau tidak, seringkali tidak dipikirkan. Itu semua terjadi karena tuntutan perguruan tinggi tempat mereka bekerja. Dan perguruan tinggi kita memberikan tuntutan itu karena mereka ingin masuk dalam daftar sekian besar perguruan tinggi peringkat dunia.”

Masuk dalam daftar peringkat perguruan tinggi terbaik memang bagus, kata Fadli. Tapi seharusnya kenaikan peringkat itu tidak dicapai melalui cara instan dan artifisial. Rencana pemerintah mendatangkan 200 orang dosen asing dengan anggaran Rp 300 miliar itu, misalnya, menurut dia, adalah cara artifisial untuk mendongkrak mutu pendidikan. Cara itu tidak akan memperbaiki mutu dan iklim akademik. Itu tak ada bedanya dengan mengatasi krisis pangan melalui impor. Untuk jangka pendek mungkin menolong, tapi itu bukanlah jalan keluar.”

“Kita seharusnya bisa belajar dari dibubarkannya Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013 silam. MK menilai pembentukan SBI dan RSBI berpotensi mengikis rasa bangga dan karakter nasional, karena kurikulum dan lain sebagainya asing semua. Hal ini dianggap bertentangan dengan amanat konstitusi,” jelasnya.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini mengatakan, membangun pendidikan yang bertaraf internasional tidak harus mencantumkan label internasional. Dan meniru sistem pendidikan luar negeri tidak memberikan jaminan bahwa akan berhasil dengan cara yang sama.

“Inilah salah satu sebab kenapa meskipun kita sudah menganggarkan 20 persen APBN kita untuk pendidikan, namun kualitas pendidikan kita seperti jalan di tempat. Karena kita keliru mendefinisikan pendidikan.”

Fadli memberi satu contoh kasus. Pada zaman kolonial, siswa AMS selama tiga tahun bersekolah mereka minimal telah menyelesaikan 25 buku sastra. “Sementara pada 1997, menurut penelitiannya Pak Taufiq Ismail, yang melakukan penelitian terhadap lulusan SMA di 13 negara, siswa-siswa SMA saat ini tidak harus menamatkan satu judul bacaan pun untuk bisa lulus.”

Sekali lagi coba bayangkan, lanjutnya, pada kuartal pertama abad ke-20, kemampuan membaca siswa-siswa tak ada bedanya dengan kemampuan siswa-siswa di Prancis, Belanda, Jepang, Rusia, atau Swiss. “Kini, kita tidak lagi merisaukan kenyataan siswa-siswa kita tak lagi membaca sastra, asalkan nilai ujian nasional mereka tinggi. Betapa buruknya cara kita mendefinisikan persoalan dalam bidang pendidikan,” ungkapnya.

“Standar nilai ujian siswa-siswa kita saat ini boleh saja tinggi, dan kita bisa saja membuatnya menjadi semakin tinggi lagi. Tapi, masalahnya, bagaimana jika ukuran kualitas yang sebenarnya tak bisa diukur oleh nilai-nilai tadi. Inilah yang saya maksud dengan jangan tingkatkan mutu pendidikan kita dengan cara instan, artifisial, dan salah.”

Fadli mengatakan, salah satu kunci untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah guru. Ia melihat model rekrutmen pemerintah atas para guru ini masih buruk. Dalam catatan dia, jumlah guru berstatus PNS itu sekitar 1,7 juta. Sementara guru berstatus honorer sekitar 812 ribu orang. Jadi, sekitar 48 persen tenaga pendidik adalah honorer, yang biasanya dibayar alakadarnya dan itupun sering dirapel. “Bagaimana bisa kita meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran dengan komposisi dan situasi tenaga pengajar semacam itu?” ujarnya.

Begitu juga dengan kondisi di perguruan tinggi. Ia mengatakan, daripada mendatangkan 200 dosen asing yang gajinya bisa sepuluh kali lipat gaji dosen lokal, jika punya dana pemerintah sebaiknya memberikan insentif lebih untuk dosen-dosen berprestasi, yang rajin menulis publikasi atau sejenisnya. “Saya kira itu akan lebih menggairahkan iklim akademik di kampus-kampus kita.”

Begitu juga dengan soal publikasi internasional, katanya. Pemerintah seharusnya membuat program untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Indonesia, baik sastra maupun buku-buku keilmuan yang diseleksi, ke dalam bahasa Inggris. Sebab, harus diakui jika kemampuan berbahasa asing di kalangan dosen juga terbatas.

“Cara ini menurut saya lebih efektif untuk memperkenalkan Indonesia di panggung akademik dunia. Dosen-dosen kita juga akan lebih percaya diri, karena kemampuan intelektual mereka akhirnya tak terilusi oleh kemampuan berbahasa asingnya,” demikian Fadli Zon. (npm)