Kastara.ID, Jakarta – Riuh suara canda bocah di areal lantai Cluster A Blok 10 Rumah Susun (Rusun) Marunda, sore itu, tak mengusik keseriusan Surini menggoreskan canting di atas selembar kain berwarna hitam. Dengan telaten, dia menggerakkan tangannya mengikuti pola gambar di atas kain tersebut.

Di ruangan seluas sekitar 300 meter persegi, Surini bersama dengan tujuh perempuan warga Rusun Marunda lainnya, setiap Senin hingga Sabtu mulai pukul 10.00-17.00 rutin melakukan aktivitas membatik. Mulai dari menggambar pola, mencanting, hingga mewarnai kain dan membersihkannya.

Perempuan yang tinggal di Cluster B Blok 2, Rusun Marunda ini mengaku, bersama teman-temannya mendapat keahlian membatik setelah ikut pelatihan pada 2013. Namun aktivitas ini sempat vakum selama dua tahun. Barulah pada 2015 setelah Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DKI Jakarta membuka kelas batik, ia kembali menekuni keahlian tersebut hingga saat ini.

Dekranasda bersama beberapa stakeholder, mendirikan kelas membatik untuk mencetak penghuni rumah susun, terutama ibu rumah tangga, menjadi warga yang produktif, mandiri, dan berpotensi.

Diungkapkan Rini, untuk merampungkan setiap lembar kain batik dibutuhkan waktu antara tiga hari sampai dua pekan, tergantung tingkat kesulitannya.

“Untuk setiap lembar hasil produksi batik, kami diberikan upah bervariasi antara Rp 50 hingga Rp 400 ribu, tergantung kerapian dan kerumitan pola,” ujar Rini belum lama ini di kediamannya.

Setiap bulan, lanjut Rini, ia dan rekan-rekannya dapat memproduksi empat sampai tujuh lembar kain batik dengan penghasilan sekitar Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta.

“Tadinya saya berdagang. Tapi sekarang sudah mau fokus mencanting saja karena bisa disambi,” tuturnya.

Pembina Komunitas Membatik Rusun, Irma Gamal Sinurat menjelaskan, Batik Marunda sendiri merupakan produk dengan pakem yang menampilkan flora dan fauna asli Jakarta seperti Kembang Teleng, Kembang Kelapa, Daun Bandotan, Nona Makan Sirih, Bulus, Kupu-kupu, dan Elang Bondol.

“Diproduksi dengan teknik mencanting, pemilihan Batik Marunda cenderung menggunakan warna dasar hitam dan terang,” jelasnya.

Diakui Irma, pemasaran Batik Marunda hingga kini masih menjadi salah satu tantangan. Selama ini, pemasaran baru sebatas melalui Galeri Batik Marunda yang terletak di Lebak Bulus dan sejumlah pameran saja.

Karena itu, pihaknya berharap dukungan promosi dan campur tangan stakeholder lain di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membesarkannya. Dengan begitu, Batik Marunda diharapkan bisa dikenal luas bahkan mendunia.

Program pemberdayaan warga ini menjadi sangat menarik. Apalagi sejak 2 Oktober 2009 Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO) telah menetapkan Batik sebagai warisan budaya dunia milik Indonesia.

“Kita harap, pemberdayaan ini akan memotivasi mereka bisa memulai hidup baru yang lebih baik,” tandasnya. (hop)