Perppu Ormas

Kastara.id, Medan – Dosen pengajar Pancasila dan Kewarganegaraan di UMN Al Washliyah, Medan, Sumatera Utara, Dedi Iskandar Batubara menegaskan, tidak akan terjadi konflik komunal pasca pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Hal ini sepanjang langkah-langkah yang dilakukan dalam pembubaran sesuai dengan UU, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, maka tidak akan ada konflik.

“Saya yakin kita sudah terbiasa. Justru menurut saya langkah-langkah represif seperti ini yang tiba-tiba membubarkan HTI, dengan memaksakan melahirkan Perppu membatalkan UU yang sudah lama dibahas oleh DPR tiba-tiba, dan melahirkan Perppu yang masih banyak catatan-catatannya, ini yang akan bisa menimbulkan konflik-konflik itu,” kata Dedi di kantornya di Jalan HM Said, Medan, Sumatera Utara, Rabu (2/8).

Dedi yang juga anggota DPD mengatakan, bila melakukan kegiatan di daerah selalu menyampaikan empat konsensus tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. “Saya selalu menyampaikan di daerah-daerah dan saya sampaikan pemahaman tentang Pancasila,” ujarnya.

Dedi juga selalu menegaskan kepada para mahasiswa jangan coba-coba ganti-ganti Pancasila, karena ini satu-satunya ideologi di dunia. Pancasila adalah kebanggaaan bagi bangsa Indonesia. “Bila ada yang ingin mengubah ideologi Pancasila maka akan menjadi musuh besar kita,” katanya.

Dedi juga menanggapi mengenai terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017. Sebagai putra wakil daerah masih mempertanyakan soal sikap pemerintah yang secara sepihak membubarkan HTI yang sebelumnya didahului menerbitkan Perppu No. 2 tahun 2017.

Dalam perspektifnya, kata Dedi, pertama adalah adanya indikasi HTI ingin mendirikan Negara Kilafah Islamiyah, bertentangan dengan pancasila, dan tidak sesuai dengan UUD 1945. Seharusnya pertama pemerintah membawa ke Pengadilan dahulu untuk memutuskannya, dibuktikan dahulu apakah HTI benar secara hukum benar-benar bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. “Apakah benar HTI ingin mendirikan negara kilafah Islamiah,” ujarnya.

Menurut Dedi, dalam UU Ormas sebelumnya sudah jelas harus ada peringatan pertama, peringatan kedua, dan peringatan ketiga. Baru kemudian diajukan ke pengadilan, kemudian dibubarkan, dan tahapan ini yang tidak dilakukan oleh pemerintah.

“Ini merupakan cacat dan saya koreksi betul. Saya juga termasuk tidak sepakat apabila ada ormas yang ingin mendirikan negara kilafah Islamiyah dan membubarkan negara ini, saya cinta NKRI. Kita hidup dan berkembang di negara Indonesia ini, karena itu tidak boleh mentolelir orang-orang yang akan mau mengganti ideologi negara, merusak tatanan kebangsaan kita, apalagi tatanan agama kita,” kata Dedi.

Namun kalau pemerintah melakukan langkah-langkah seperti ini, menurutnya tidak tepat dan harus melalui mekanisme dalam UU ormas sebelum terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017. Itulah kemudian wajar kalau sebagian ormas-ormas Islam mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena memang dinilainya ada dalam pasal-pasal Perppu No. 2 Tahun 2017 yang membuat situasi tidak nyaman organisasi kemasyarakatan Islam ke depan. Karena kalau tindakan pemerintah hanya dari luar saja, tanpa melalui pengadilan, ini sangat berbahaya.

Dedi mencontohkan ada dalam pasal-pasal Perppu No. 2 Tahun 2017 ketika ada niat mengubah Pancasila dan UUD 1945, pemerintah bisa membubarkan ormas tersebut, dan ini sangat berbahaya dan ini harus disampaikan secara komprehensif oleh pemerintah kepada ormas-ormas.

“Saya yakin Judicial Review pasti akan diterima oleh MK, karena terlalu banyak catatan-catatannya. Justru ini seolah-olah ingin meletakkan negara Indonesia mengangkangi hak-hak orang lain untuk berserikat dan berkumpul padahal itu diatur di dalam UUD 1945 sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,” ujarnya.

Lebih lanjut disampaikan Dedi, kalau kemudian sikap-sikap pemerintah berdasarkan regulasi dan UU, menurutnya semua orang akan menjadi benteng bagi keutuhan NKRI. “Kalau ada ormas yang ingin mengubah ideologi negara maka ini menjadi musuh kita bersama,” katanya.

Dedi berharap Pemerintah ke depan lebih berhati-hati dalam melahirkan Perppu. Perppu harus lahir dalam kondisi keadaan darurat, jangan dalam segala hal.

“Kalau ini terus terjadi akan terjebak dengan kebijakan-kebijakannya sendiri dan akan lelah dan letih untuk menyelesaikan kebijakan-kebijakan kontra yang seperti ini, padahal banyak pekerjaan rumah yang lebih penting lagi,” ujarnya. (npm)