RKUHP

Oleh: Fadil Aulia

EXCEPTIO frimat vim legis in casibus non exceptis. Penafsiran terhadap suatu peraturan harus dilakukan secara sempit dan sedemikian rupa. Adagium tersebut setidaknya memberikan gambaran kepada penegak hukum bagaimana seharusnya melakukan penafsiran terhadap aturan yang telah dirumuskan.

Apabila merujuk kepada teori politik hukum, penafsiran merupakan sub bagian daripada kebijakan aplikasi (penerapan hukum) yang menjadi kewenangan daripada Aparat Penegak Hukum. Penafsiran dilakukan terhadap suatu norma (kebijakan formulasi) yang dilanggar oleh subyek hukum. Norma/aturan merupakan obyek untuk melakukan penafsiran.

Penafsiran terhadap suatu aturan beberapa waktu belakangan ini kembali mencuat ke permukaan. Meskipun persoalan penafsiran terhadap suatu aturan merupakan persoalan klasik yang sudah sering diulang, tetap saja persoalan ini masih relevan dengan kondisi pengaplikasian peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam konteks terbaru, RKUHP menjadi bahan yang mendapat banyak perhatian kaitannya dengan penafsiran.
Beberapa waktu yang lalu, ketika Pemerintah menyerahkan Draft RKUHP yang sudah final ke DPR untuk ditindaklanjuti, banyak pihak yang secara langsung menyatakan ketidaksetujuannya akan draft tersebut. Salah satu di antara banyaknya ketidaksetujuan yang muncul ialah berkaitan dengan terdapatnya pasal yang dinilai berpotensi karet dalam draft RKUHP tersebut. Doktor Zainal Arifin Mochtar yang merupakan Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada, merupakan salah satu yang menyatakan terdapatnya pasal yang berpotensi karet dalam draft RKUHP tersebut (Kompas, 13/7/2022, “Pasal Penghinaan, Hukum dan Demokrasi”).

Doktor Zainal dalam tulisannya menyebutkan bahwa pasal yang dinilai berpotensi karet tersebut ialah Pasal 218-220 RKUHP. Bahwa memang konstruksi pasal 218-220 RKUHP pada dasarnya membedakan dan/atau memisahkan antara kritik dan penghinaan, namun parameter penggunaan pasal tersebut apakah masuk dalam kategori kritik atau penghinaan diserahkan sepenuhnya atau menjadi diskresi dari aparat penegak hukum. Hal ini tentunya berpotensi karet.

Apabila RKUHP disahkan dan rumusan pasal 218-220 tidak dilakukan perubahan maka penegak hukum diberi kebebasan sepenuhnya untuk melakukan penafsiran terhadap rumusan pasal tersebut, apakah suatu tindakan yang dilakukan masuk kritik atau penghinaan. Hal tersebutlah yang menjadi ketakutan dari banyak pihak yang berujung kepada penolakan terhadap rumusan Pasal 218-220 tersebut. Pihak-pihak yang tidak setuju dengan rumusan pasal mengenai penghinaan tersebut mengemukakan bahwa rumusan pasal tersebut harus dilakukan revisi karena untuk menentukan apakah seseorang melakukan penghinaan terhadap Presiden atau Pemerintah dalam pasal tersebut sangatlah subyektif. Belum tentu suatu hal yang bukan dianggap penghinaan oleh masyarakat juga dianggap sama oleh penegak hukum. Bisa saja penegak hukum menyatakan sebaliknya.
Akan tetapi, kekhawatiran publik terhadap rumusan pasal yang dinilai berpotensi karet sehingga dijadikan alasan untuk menolak pengesahan RKUHP mendapat respons yang tegas dari Profesor Eddy O.S. Hiariej (Wakil Menteri Hukum dan HAM). Profesor Eddy menyebutkan bahwa kekhawatiran banyak pihak terkait pasal-pasal yang dinilai berpotensi karet karena pengaplikasiannya menjadi diskresi penegak hukum kurang tepat (Kompas, 28/07/2022, “Pelibatan Publik dan Dekolonisasi”). Dengan mengutip pendapat Profesor Satjipto Rahardjo, Profesor Eddy menjelaskan bahwa “membuat hukum adalah suatu hal dan menafsirkan hukum yang sudah dibuat adalah keharusan berikutnya”.

Bertolak dari pendapat Profesor Satjipto Rahardjo yang dikutip Profesor Eddy tersebut, dapat dimaknai bahwa pada dasarnya kurang tepat melakukan penolakan terhadap suatu rancangan undang-undang hanya karena rumusan yang terdapat dalam RUU bisa memunculkan tafsiran yang berbeda-beda dalam aplikasinya. Sebab, sejelas apapun rumusan suatu pasal pasti membuka ruang untuk dilakukan penafsiran.
Ketakutan publik akan keberadaan Pasal 218-220 yang dinilai berpotensi karet, menurut penulis sendiri merupakan hal yang wajar. Sebab, tidak ada batu uji yang kuat untuk memastikan apakah nantinya pasal tersebut bisa diaplikasikan sebagaimana maksud dari pembuat undang-undang. Bisa saja aparat penegak hukum mengaplikasikan pasal tersebut terhadap suatu peristiwa yang terjadi tidak sesuai dengan maksud pembuat undang-undang.

Penegak hukum merupakan subyek yang harus diperhatikan secara serius kaitanya dengan rumusan Pasal 218-220 RKUHP tersebut. Alangkah lebih baiknya sebelum dilakukan pengesahan terhadap RKUHP khususnya Pasal 218-220, pembuat undang-undang terlebih dahulu melakukan sosialisasi, pembinaan dan/atau pelatihan terhadap aparat penegak hukum mulai dari tahap penyidikan, penuntutan hingga pengadilan. Jangan sampai ketika RKUHP ini disahkan aparat penegak hukum tidak mengerti maksud dan tujuan pembuat undang-undang merumuskan pasal a quo.

Meskipun membuat hukum dan menafsirkan hukum yang sudah dibuat merupakan dua tahapan yang berbeda dalam politik hukum, tetap saja hal ini saling berkesinambungan satu sama lainnya. Sehingga tidak bisa dipisahkan, harus saling dikaitkan antara satu dengan yang lainnya. Penolakan terhadap suatu pasal yang dinilai bisa bermasalah nantinya ketika diaplikasikan, menurut penulis adalah sah-sah saja.

Sebagai tahapan yang paling strategis, pembuatan aturan harus benar-benar memperhatikan banyak aspek, khususnya aspek pengaplikasiannya setelah disahkan. Memang tidak ada aturan yang terlepas dari tafsiran yang berbeda-beda, namun penafsiran yang berbeda-beda tersebut sebisa mungkin diminimalisir dengan memperbanyak melakukan pembinaan, sosialisasi, dan pelatihan terhadap publik khususnya aparat penegak hukum yang berkaitan langsung dengan pengaplikasian aturan a quo. Di sisi lain ketika melakukan melakukan penafsiran, adagium in dubio pro reo harus menjadi perhatian serius dikalangan aparat penegak hukum. (*)

* Penggiat Hukum Pidana, Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.