Oleh: Muhammad AS Hikam

Terjaringnya Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) Irman Gusman (IG) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajak kita sebagai warga negara yang bertanggung jawab untuk melakukan perenungan dan pembelajaran mengenai masalah korupsi di negeri ini. Peristiwa ini kembali menggugah alam kesadaran kita bahwa tindak pidana korupsi masih merajalela dan yang sangat penting untuk dicatat, adalah dilakukan oleh para oknum elit penguasa dan yang bercokol di lembaga tinggi negara. Ingatan kita juga kembali kepada peristiwa terjaringnya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (AM), pada 2013 lalu. Demikian pula kasus-kasus tipikor yang menjerat petinggi-petinggi parpol dan politisi-politisi kondang seperti Anas Urbaningrum, Jero Wacik, Sutan Bhatoegana, Nazaruddin, untuk menyebut hanya beberapa nama.

DPD RI adalah lembaga tinggi negara bentukan relatif baru sebagi hasil amandemen UUD 1945 dan buah reformasi. Lembaga legislatif yang mewakili daerah-daerah di Indonesia ini memang tak sekuat DPR, yang mewakili rakyat Indonesia. Tetapi akhir-akhir ini, DPD pun mulai menggeliat setelah terjadi pemberdayaan kelembagaan dalam kewenangan, termasuk dalam keterlibatan membuat UU bersama DPR untuk masalah-masalah strategis terkait dengan keuangan dan daerah. Dan berbeda dengan DPR, lembaga ini memiliki citra yang lebih bersih dan tidak dikenal sebagai locus hingar bingar politik seperti ‘saudaranya’. Sampai ketika kabar bahwa Ketuanya kena kasus tipikor dan menjadi tersangka lembaga antirasuah, KPK.

Kendati proses hukum masih berjalan, tetapi saya berpendapat bahwa track record KPK sangat bagus dan belum pernah salah tangkap dalam operasi seperti ini. Karena itu, berbagai komentar baik dari pihak internal DPD atau DPR, parpol, dan pengamat yang bernada sinis terhadap KPK dalam masalah ini, saya anggap tidak perlu digubris. Ini termasuk omongan salah seorang anggota DPD RI, Prof. Dailami Firdaus, yang menuding KPK “tebang pilih” ketika menangkap IG. Dailami mengatakan demikian dengan alasan bahwa lembaga antirasuah tersebut bertindak berlebihan dan “karena KPK membiarkan kasus-kasus korupsi yang nilainya jauh lebih besar dari ‘sekadar Rp 100 juta.”

Hemat saya, pernyataan Dailami sangat ekonomis dalam penalaran dan kejujuran, sebab: 1) Masalah korupsi tidak hanya terkait dengan besarnya jumlah uang saja; dan 2) Tidak sepenuhnya benar jika KPK dikatakan membiarkan kasus-kasus korupsi yang besar. Kalau Dailami menggunakan kasus-kasus Bank Century dan BLBI, maka sejauh ini penyelidikan yang dilakukan oleh KPK memang belum membuahkan penangkapan-penagkapan dan pembongkaran para pelaku yang dianggap atau diduga terlibat, tetapi itupun bukan berarti KPK melakukan pembiaran.

Demikian pula soal tudingan korupsi RS Sumber Waras, yang diduga melibatkan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Pihak KPK telah bekerjasama dengan BPK untuk mengusut persoalan tersebut, namun KPK sendiri yang menyatakan bahwa belum ada bukti terjadinya tipikor oleh Ahok.

Soal Dailami puas atau tidak puas terhadap kinerja KPK itu urusan lain, tetapi hal itu belum bisa menjadi argumen yang valid untuk mengatakan lembaga tersebut berlebihan dan/atau melakukan pembiaran!

Kita masih menunggu kelanjutan dari kasus IG ini. Bisa jadi hanya berhenti pada kasus suap saja, tetapi bisa juga menjadi pintu masuk bagi penyelidikan terhadap kasus-kasus lain yang lebih dalam dan luas. Ini pernah terjadi dalam kasus OTT Akil Mochtar dulu, yang ternyata kemudian bukan hanya soal suap tetapi juga pencucian uang, dan lain-lain. Walhasil, kinerja KPK mesti diapresiasi, termasuk oleh DPD sendiri. Sebab jika lembaga ini dan para anggotanya mau jujur dengan diri sendiri, kasus IG ini justru bisa menjadi semacam “mau’idzoh” alias peringatan dan pelajaran yang baik. Jangan sampai DPD yang memiliki usia masih muda dan citra yang masih baik itu ikut menapaki jalan dari “saudara-saudaranya” yakni DPR dan DPRD dalam soal rekam jejak tipikor! (*)