Oleh: Hony Irawan

Sejumlah lembaga survey sudah mengeluarkan hasil yang menempatkan calon kepala daerah yang berlaga di Pilkada 2017 tertentu, lebih unggul atau kalah unggul dari calon lain. Terlepas dari apakah survey tersebut benar untuk menggambarkan penilaian masyarakat, atau justru menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan keterpilihan calon tertentu, yang perlu dicatat adalah penilaian itu dilakukan sebelum calon-calon tersebut menyampaikan visi, misi, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan kelak jika mereka terpilih.

Yang perlu dicatat lainnya adalah keterpilihan pada masa ini berdasar pada pengetahuan masyarakat terhadap tiap calon tentang siapa dan apa yang telah mereka lakukan. Akan seberapa jauh perbedaan penilaian masyarakat sebelum dan sesudah penyampaian visi dan misi, mungkin sangat tergantung dari kiprah calon tersebut dan strategi kampanye yang akan ditempuh. Tentu saja tim sukses dan para ahli yang tergabung di dalamnya kini tengah merancang, bahkan mungkin sudah dalam masa persiapan menghadapi masa kampanye.

Berbagai aspek tentu terus dikaji berdasarkan analisis situasi, peta kompetisi, lengkap dengan analisis kekuatan-kelemahan dan sebagainya. Ini adalah sebuah pertarungan menang kalah bagi tiap calon yang juga menjadi pertaruhan bagi partai-partai pendukungnya. Beruntung pilkada langsung (pilkadal) DKI mendapat sorotan luas dari media nasional yang tak henti-henti memberitakan sejak proses tarik ulur bakal calon yang mengajukan diri ke partai, proses tarik ulur drama beralihnya calon independen ke dukungan partai, detik-detik penentuan calon sampai diumumkan. Semua kamera menjadikannya berita utama, dan seakan lupa Pilkada 2017 bukan di DKI saja.

Tercatat ada 101 daerah yang terdiri dari tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota yang akan laksanakan pilkada di tahun 2017. Hiruk pikuk jelang Pilkada di luar Jakarta juga tak kalah seru. Di beberapa daerah, jauh-jauh hari sudah bertebaran spanduk, billboard, dan berbagai materi promosi dengan berbagai wajah terpampang di berbagai lokasi strategis. Sebagian di antaranya lolos dicalonkan partai, sebagian yang lain terpaksa harus mengurungkan niat untuk melaju jadi kepala daerah.

Di tengah kegaduhan Jakarta yang menggema di seantero nusantara, calon-calon pemimpin daerah lain tentu perlu mendapatkan sorotan yang memadai. Meski kecenderungan akan “pandangan pertama” terus akan bertahan hingga di bilik suara, namun bukan tidak mungkin pengenalan masyarakat yang meningkat terhadap calon yang maju, akan mengubah keterpilihannya.

Politik adalah persepsi. Dan persepsi secara konsisten mempengaruhi sikap yang juga konsisten mempengaruhi perilaku. Tapi kita tahu, persepsi dan sikap tidak konsisten, atau bisa diubah. Harapannya adalah perubahan persepsi dipengaruhi oleh pemahaman yang benar tentang tiap pilihan calon, beserta kesesuaian antara argumentasi deliberatifnya dengan bukti-bukti yang ada. Bukan atas dasar keterpaksaan, apalagi politik uang.

Adalah hal yang wajar jika proximity menjadi dasar pemilihan calon kepala daerah. Bisa jadi kesamaan asal lahir, pernah di sekolah yang sama, mungkin juga hobi yang sama, bisa jadi ada hubungan saudara, suku, dan agama. Bahkan seorang Barack Obama yang merupakan simbol dari negara demokratis sempat menyampaikan pernyataan keheranannya kalau ada warga kulit hitam memilih Donald Trump.

Akhirnya proses demokrasi selalu terulang. Kita disuguhkan berbagai kemasan informasi yang kadang tak jelas ujung pangkalnya; persuasi dibalas persuasi, namun kadang propaganda dibalas propaganda, bahkan tak jarang kampanye hitam dibalas kampanye hitam. Semua celah digunakan untuk memenangkan kompetisi, lewat media tradisional yang umumnya dikemas secara formal, maupun lewat media sosial yang umumnya secara informal. Mana yang paling efektif dari keduanya!? Saya percaya bahwa siapa yang lebih menguasai sosial media, dialah pemenangnya!

Minggu, 2 Oktober 2016

(*)