Oleh: Eko Witjaksono

PADA diskusi yang digelar oleh DPC PDI Perjuangan Jakarta Timur, tanggal 1 Juni 2020, yang dilaksanakan secara virtual dengan tema Pancasila Menghadapi Tantangan Pemiskinan dan Intoleransi, ada beberapa catatan otokritik sebagai sebuah bangsa besar.

Pancasila sebagai ideologi negara, dilahirkan dalam proses yang tidak mudah. Dengan penggalian yang dalam dari akar budaya di Bumi Indonesia, Bung Karno menyampaikan pidato menjawab pertanyaan Ketua Sidang BPUPKI Dr. KRT Radjiman Widiodiningrat tentang Dasar Negara Indonesia Merdeka.

Dalam pidato yang disampaikan 1 jam di kesempatan terakhir pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan hasil penggalian dan perenungan yang dalam berupa lima butir dasar negara.

Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi DKI Jakarta menekankan kembali, bahwa kemufakatan soal dasar negara sudah final. Sudah tidak perlu diperdebatkan lagi dari proses penyampaian tanggal 1 Juni 1945 yang kemudian disempurnakan tanggal 22 Juni 1945 yang dikenal sebagai Piagam Jakarta serta tanggal 18 Agustus 1945 sebagai hasil kesepakatan Tim 9 yang dituangkan dalam Amanat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia. Sebuah konsepsi yang matang dalam mendirikan Indonesia Merdeka. Di mana semua proses tersebut diketuai oleh Bung Karno. Semakin jelas bahwa proses politik penentuan Dasar Negara sudah selesai.

Hal ini senada disampaikan oleh Dr. Mulawarman MA.Hum. Dosen Kajian Timur Tengah UI ini menyampaikan Pancasila dari sudut pandang Islam. Bahwa penggalian lima butir Dasar Negara yang namanya Pancasila sudah sesuai dengan ajaran Islam. Dalam Al Quran bila kita kaji Surat Al-Ikhlas ayat 1, tersebut pengertian Ketuhanan yang mengajarkan ke-Esa-an Tuhan. Lalu Surat An Nisa 135, Surat Al Hujurat 13, Surat As Syuro 38, Surat An Nahl 90. Justru dengan melaksanakan butir-butir Pancasila berarti menjalankan perintah Al Quran dengan baik. Al Quran merupakan spirit dari Pancasila itu sendiri.

Yang menarik disampaikan di sini adalah perkembangan Islam di Nusantara bahwa tradisi masyarakat Nusantara yang dikenal sebagai masyarakat yang suka bergotong royong, bersosial yang tinggi, suka berkumpul, justru mempercepat penyebaran Islam di Indonesia. Itu harus dimaknai bahwa Islam tidak bertentangan dengan Pancasila.

Dinamika pasang surut pengamalan Pancasila memang terjadi selama 75 tahun Indonesia pasti ada.

Disampaikan oleh Dwi Rio Sambodo sebagai otokritik, Pancasila sedang mengalami tiga tantangan dalam pembumian Pancasila sebagai ideologi negara. Soal perilaku keteladanan, yaitu Pancasila masih berhenti di kata-kata, belum masuk dalam tindakan nyata. Perilaku individualistik masih mendominasi dalam sendi kehidupan masyarakat saat ini. Kemudian soal perilaku kebijakan politik, di mana masih banyak produk kebijakan politik yang belum berpihak dan sesuai dengan cita-cita pendiri republik ini.
Negara Indonesia dibangun Semua untuk semua, bukan untuk satu orang, bukan untuk satu golongan, tapi semua untuk semua (BK 1 Juni 1945).

Sebenarnya dalam tubuh Pancasila bukan hanya tentang ideologi namun Pancasila terkandung nilai-nilai kehidupan berbangsa.

Dan Dr. Mulawarman menyampaikan otokritik dari sudut pandang agama, ada tiga tantangan terbesar Pancasila yaitu intoleransi yang sedang kita alami saat ini. Yang pertama tantangan dr kelompok politisasi agama, yaitu agama dijadikan alat untuk mencapai tujuan politik, setelah tujuan tercapai ditinggalkan. Kemudian ada kelompok agama dijadikan ideologi, yaitu kelompok-kelompok yang ingin menggantikan ideologi dengan agama sebagai dasar negara.

Yang terberat adalah kelompok masa mengambang yang kurang literasi tentang agama dan Pancasila, karena biasanya dimanfaatkan oleh kedua kelompok di atas.

Pada kesimpulannya Dr. Mulawarman memudahkan pengertian bahwa dengan melaksanakan Pancasila berarti menjalankan ajaran Islam dengan sebuah tindakan nyata bagi kemaslahatan umat, tanpa membedakan asal usul suku, agama dan golongan. (*)

* Sekretaris DPC PDI Perjuangan Jakarta Timur.