Pilpres 2024

Kastara.ID, Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memilih Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di 44 Kabupaten/Kota dan 6 provinsi di Jawa-Bali pada 3-20 Juli 2021. Keputusan ini diambil untuk menggantikan PPKM Mikro yang dinilai tidak efektif mengatasi lonjakan kasus Covid-19.

Keputusan tersebut mendapat tanggapan dari Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga sebagaimana disampaikan kepada Kastara.ID, Sabtu (3/7).

Padahal sebelumnya muncul wacana sebaiknya pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diperketat atau Lockdown untuk menekan lonjakan kasus Corona pasca lebaran.

“Pilihan Jokowi itu semakin membuktikan, pemerintah dalam penanganan Covid-19 berupaya menjaga keseimbangan sisi ekonomi dan sisi kesehatan. Padahal pilihan ini sudah terbukti tidak efektif. Kasus Covid-19 hingga saat ini tidak dapat dikendalikan, dan belakangan ini justru menunjukkan grafik peningkatan yang sangat siginifikan,” ujar Jamil.

Menurutnya, Pemerintah seharusnya belajar, PSBB yang diperketat yang pernah dilaksanakan terbukti lebih dapat menekan lonjakan kasus Covid-19. Hanya saja, kebijakan ini membawa implikasi pemerintah harus menyiapkan kompensasi kepada masyarakat agar dapat bertahan hidup selama PSBB diberlakukan.

“Hal yang sama juga berlaku bila lockdown yang dipilih. Bahkan implikasi kompensasinya kepada rakyat akan lebih besar daripada kebijakan PSBB diperketat,” tandas mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta ini.

Padahal bertolak dari kasus di beberapa negara di Eropa, Selandia Baru, dan Korea Selatan, penerapan lockdown jauh lebih efektif dalam penanganan Covid-9. Bahkan negara teraebut sekarang sudah mendekati hidup normal seperti sebelum adanya pandemi Covid-19 dengan membebaskan warganya dari masker.

“Jadi, pemerintah memilih PPKM Darurat tampaknya karena lebih ekonomis daripada PSBB diperketat atau lockdown. Kebijakan ini tetap memberi ruang ekonomi berjalan,” jelas Jamil.

Dengan kebijakan tersebut, pemerintah bukan berarti terbebas dari kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan makan rakyatnya. Hal itu setidaknya diberikan kepada rakyat yang terimbas dari kebijakan PPKM Darurat.

Rakyat yang tidak mampu dan berpenghasilan tidak tetap di Pulau Jawa dan Bali haruslah diberi bantuan sosial. Kewajiban ini sebagai konsekuensi logis dari kebijakan yang diambil.

Penulis Buku Riset Kehumasan ini melihat, kalau kebutuhan pangan rakyat tidak mampu dipenuhi selama PPKM Darurat, barulah pemerintah dapat menindak rakyatnya yang tidak patuh dengan aturan yang ditetapkan. Tapi kalau tidak, maka tak sepantasnya pemerintah menindak rakyatnya apalagi menuntut untuk melaksanakan semua aturan PPKM Darurat.

“Jadi, selama PPKM Darurat dilaksanakan, hak pemerintah boleh dilaksanakan kalau kewajibannya minimal memenuhi pangan rakyatnya sudah dipenuhi. Kalau hak rakyat sudah dipenuhi, barulah pemerintah dapat menuntut rakyatnya melaksanakan kewajiban aturan PPKM Darurat. Termasuk tentunya semua pihak melaksanakan 3T (testing, tracing, treatment) dan protokol kesehatan,” pungkasnya.

Hanya dengan begitu, PPKM Darurat diharapkan dapat menekan lonjakan Covid-19. Pemerintah dan rakyat melaksanakan bersama berdasarkan hak dan kewajibannya. Mungkin inilah yang dinamakan adil. (dwi)