PT KAI

Kastara.ID, Jakarta – Direktur Utama (Dirut) PT Kereta Api Indonesia (KAI) Didiek Hartantyo mengatakan, pihaknya mengeluarkan dana 4,55 miliar dolar AS atau Rp 64,9 triliun untuk membiayai pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Dana tersebut menurut Didiek setara dengan 75 persen dari total nilai investasi KCJB, yakni sebesar 6,07 miliar dolar AS.

Sedangkan sisanya, sebesar 25 persen berasal dari ekuiti PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

Namun dana tersebut bukan berasal dari kas PT KAI, melainkan hasil piniaman China Development Bank (CDB). Pinjaman tersebut disepakati pada 12 Mei 2017 dengan tenor 40 tahun. Masa tenggang yang diberikan selama 10 tahun dan availability period hingga 2022. Sementara suku bunga yang ditetapkan sebesar 2 persen untuk dolar AS dan 3,5 persen untuk yuan.

Saat mengikuti rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR (1/9), Didiek menerangkan, pinjaman tersebut baru diperpanjang pada tanggal 7 Mei 2021. Hal itu sesuai dengan consent and waiver letter CBD yang menyatakan availability sampai dengan 14 Mei 2021.

Didiek menuturkan, untuk pembiayaan tahap Engineering Procurement Construction (EPC) atau tahapan desain perencanaan, pengadaan barang dan jasa, hingga konstruksi dibutuhkan dana sebesar 4,7 miliar dolar AS. Nilai EPC sudah termasuk dalam nilai keseluruhan proyek strategi nasional tersebut (PSN).

Mantan Senior Vice President PT Bank Mandiri ini menambahkan, dana sebesar Rp 64,9 triliun yang dianggarkan PT KAI baru berupa capital expenditure (capex) atau belanja modal awal.

Sebelumnya diberitakan, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) mengalami pembengkakan dana yang cukup besar. Berdasarkan perhitungan PT KAI pembengkakan mencapai 1,9 miliar dolar AS atau Rp 26,9 triliun. Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko KAI Salusra Wijaya mengatakan, jumlah tersebut ditemukan setelah PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) melakukan sejumlah perbaikan dan efisiensi.

Saat berbicara (1/9), Salusra menerangkan pembengkakan itu menyebabkan total biaya pembangunan proyek KCJB kini mencapai 7,97 miliar dolar AS atau Rp 113 triliun. Padahal biaya pembangunan proyek prestisius itu semula sebesar 6,07 miliar dolar AS atau Rp 85 triliun (kurs Rp 14.200 per dolar AS).

Menurut Salusra, pembengkakan sudah terjadi sejak 2016. Saat itu, revisi jarak tengah antar rel ganda membuat biaya mega proyek kereta cepat itu menelan biaya lebih dari 5,135 miliar dolar AS. Sedangkan indikasi pembengkakan terbaru diketahui pada September 2020, saat proyek tersebut mengalami keterlambatan dan kendala pembebasan lahan.

Proyek KCJB dikerjakan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang terdiri dari dua konsorsium, yakni PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd.

PSBI terdiri dari beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan komposisi kepemilikan saham berbeda. PT Wijaya Karya memiliki 38 persen, PT KAI 25 persen, PT Jasa Marga 12 persen, dan PTPN VIII 25 persen. PSBI secara total memiliki 60 persen saham di KCJB.

Sedangkan Beijing Yawan HSR Co. Ltd. terdiri dari lima perusahaan yakni CREC dengan kepemilikan saham 42,88 persen, Sinohydro 30 persen, CRCC 12 persen, CRSC 10,12 persen, dan CRIC 5 persen. Konsorsium dari negeri tirai bambu ini memiliki 40 persen saham di KCJB. (ant)