Ombudsman

Oleh: Adam Setiawan

MEMASUKI awal tahun 2019, harapan demi harapan dipanjatkan seraya mewujudkan cita-cita bangsa dalam memberikan kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan alinea ke-4 UUD NRI 1945 yang bunyinya “untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Berdasarkan bunyi dari pembukaan tersebut telah menimbulkan konsekuensi kepada administrasi negara yang dibebani tugas dan kewajiban yang semakin besar untuk merealisasikan tujuan negara. Dengan kata lain untuk merealisasikan konsep negara kesejahteraan (negara hukum modern) pemerintah dilimpahkan tanggung jawab bestuurszorg atau public service. Dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik, negara adalah aktor utama dalam upaya pemenuhan hak-hak.

Namun pada tataran praktiknya, permasalahan acapkali muncul silih berganti seakan tidak ada hentinya sehingga berpengaruh pada efektivitas penyelenggaraan pelayanan publik. Hal ini didukung dengan data yang dikeluarkan oleh Ombudsman dalam kurun waktu 2016-2018 yang menyebutkan bahwa hampir sekitar 22.590 laporan yang diterima oleh Ombudsman Republik Indonesia. Walaupun tidak semua laporan tersebut ditindaklanjuti oleh Ombudsman dikarenakan tidak memenuhi unsur maladministrasi atau beberapa hal lainnya yang menjadi syarat pelaporan.

Apabila dianalogikan pelayanan publik itu seperti jalanan yang panjang pasti akan ada lubang yang menghambatnya. Seperti itu lah pelayanan publik akan mengalami hambatan jika tidak ada yang mengawasinya.

Dalam hal ini Ombudsman Republik Indonesia memiliki kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 UU No 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Berdasarkan redaksi pasal yang telah disebutkan di atas, secara eksplisit telah menasbihkan Ombudsman sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik. Akan tetapi dengan kewenangan yang telah diberikan tersebut tak dapat dipungkiri tantangan Ombudsman untuk menekan angka penurunan maladministrasi sangatlah besar bahkan Ombudsman yang memiliki produk hukum dalam bentuk “Rekomendasi” acapkali tidak diindahkan oleh terlapor.

Sebelumnya perlu diketahui apa yang dimaksud dengan Rekomendasi berdasarkan Pasal 1 ayat 7 UU No 37 Tahun 2008, bahwa rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman, kepada atasan Terlapor untuk dilaksanakan dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik.

Pada tataran praktiknya banyak para pelaku penyelenggara negara yang mendapatkan rekomendasi dari Ombudsman tidak menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia seperti beberapa contoh berikut.

Pertama, rekomendasi yang tidak ditanggapi terjadi pada tahun  2011, permasalahan bermula saat, Ombudsman Republik Indonesia lewat rekomendasinya, menyatakan bahwa Wali Kota Bogor Diani Budiarto telah melakukan penyimpangan praktik administrasi, atau maladministrasi, terkait dengan penerbitan Surat Keputusan yang isinya mencabut IMB dari GKI Yasmin itu.

Ombudsman juga menyatakan bahwa tindakan maladministrasi yang dilakukan Wali Kota Bogor merupakan perbuatan melawan hukum, dan mengabaikan kewajiban hukum. Oleh karena itu Ombudsman merekomendasikan kepada Wali Kota Bogor agar mencabut Surat Keputusan yang berisi tentang pembekuan IMB GKI Yasmin itu.

Kedua, rekomendasi Ombudsman RI perwakilan DKI Jakarta Raya diberikan terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait penutupan jalan di depan Stasiun Tanah Abang untuk mengakomodasi pedagang kaki lima. Ombudsman menilai telah terjadi penyimpangan administrasi (maladministrasi) atas kebijakan penutupan jalan Jati Baru Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Akan tetapi rekomendasi tersebut tidak dilaksanakan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Contoh di atas telah menunjukkan bahwa telah terjadi kesenjangan antara kenyataan (sein) dan seharusnya (sollen) sebagaimana Pasal 38 ayat 1 menyebutkan Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan Rekomendasi Ombudsman. Dengan kata lain rekomendasi tersebut dapat diabaikan begitu saja tanpa ada sanksi, walaupun ada peraturan yang mengkhususkan Kepala Daerah untuk melaksanakan rekomendasi dan apabila tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman tersebut Kepala Daerah akan dikenai sanksi pemberhentian sementara.

Namun seperti yang kita ketahui pada tahap implementasi, sukar ditemui seorang Kepala Daerah yang diberhentikan karena mengabaikan rekomendasi Ombudsman. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadi anomali dalam memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi para pelapor.

Maka dari itu perlu kiranya ada Politik Hukum untuk memperkuat Ombudsman dan Memperlemah Maladministrasi. Sebelum menjelaskan lebih lanjut perlu diketahui apa yang dimaksud dengan politik hukum.

Menurut Mahfud MD Politik hukum adalah “legal policy” atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.

Pendapat Padmo Wahjono mengenai Politik Hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.

Lebih lanjut Teuku Mohammad Radhie menjelaskan bahwa Politik Hukum merupakan kehendak penguasa di suatu negara mengenai tatanan hukum yang akan diberlakukan serta ke arah mana hukum akan dikembangkan. Dengan demikian dapat ditarik inti apa yang dimaksud dengan Politik Hukum yaitu suatu kebijakan dari negara mengenai hukum dan diberlakukan untuk semua orang dalam rangka mencapai tujuan negara.

Politik Hukum dengan cara melakukan pembaharuan substansi UU terkait Ombudsman merupakan suatu keniscayaan tatkala pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman tidak berjalan efektif sebagaimana semestinya. Pembaharuan substansi UU terkait Ombudsman harus berangkat dari kesenjangan antara kenyataan (sein) dan seharusnya (sollen) sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Frasa dari Pasal 38 ayat 1 yang menyebutkan “Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman” seyogyanya diarahkan pada konsolidasi atau supporting system sebagai konsekuensi dari tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia.

Dalam konteks ini, menurut penulis “Politik Hukum mengenai Ombudsman” selayaknya dilakukan dengan cara memberikan kewenangan yang cukup besar untuk menindak tegas para terlapor yang tidak menindaklanjuti rekomendasi yang telah diberikan oleh Ombudsman Republik Indonesia dengan cara memakzulkan (impeachment) terlapor dari jabatannya (ambt) atau memberikan sanksi denda yang cukup besar. Dengan demikian para terlapor dapat menindaklanjuti rekomendasi yang telah didapatkannya, namun frasa tersebut bukan untuk menakut-nakuti terlapor agar serta merta melaksanakan Ombudsman akan tetap lebih pada menjaga marwah dan kehormatan Ombudsman sebagai lembaga pengawas penyelenggara pelayanan publik.

Selain itu upaya menekan penurunan penyimpangan administrasi (maladministrasi) yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik guna mewujudkan tujuan Negara Republik Indonesia dan tentunya memberikan jaminan perlindungan, kepastian hukum dan keadilan.

Namun dalam hal ini penulis merasa pesimistis bahwa anjuran mengenai frasa kewenangan tersebut akan diakomodir dalam pembaharuan UU Ombudsman dikarenakan pasti nantinya menimbulkan polemik dan perdebatan yang panjang diakibatan perluasan makna dan memungkinkan terjadinya overlapping dengan beberapa undang-undang lainnya. Penulis juga merasa pesimis manakala merealisasikan proses pembaharuan Ombudsman untuk masuk dalam prolegnas (program legislasi nasional) mengingat konstelasi politik kita sedang carut marut. Ironisnya ditambah tidak adanya kemauan (political will) untuk memperkuat lembaga-lembaga sejenis Ombudsman demi mewujudkan tujuan negara.

Sebagai contoh wacana untuk memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi guna memberantas tindak pidana korupsi berkelanjutan hanyalah tinggal wacana saja sebagaimana kita ketahui Komisi Pemberantasan Korupsi terus menghadapi ancaman pelemahan melalui berbagai cara. Serangan bertubi-tubi datang dari pihak-pihak yang terganggu sepak terjang lembaga pemberantas korupsi ini.

Akan tetapi penulis sekali lagi menyatakan bahwa Politik Hukum memperkuat Ombudsman sebagai lembaga pengawas merupakan suatu keniscayaan terlepas unsur politis yang membalutnya dengan tujuan memperlemah atau menekan penurunan penyimpangan administrasi (maladministrasi). (*)

*Penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia