Kafir

Kastara.ID, Jakarta – Anggota MPR RI Masinton Pasaribu mengingatkan bahwa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 adalah untuk semua golongan dengan tidak melihat suku, agama, ras, dan golongannya. Makanya Indonesia tidak mengenal warga kelas dua.

“Indonesia berdiri atas kebhinekaan, sehingga tak ada dan tak boleh ada yang menonjolkan egoisme keagamaan. Siapa pun bisa menjadi presiden, menteri, kepala daerah, dan lain-lain. Tak ada warga negara kelas dua,” tegas politisi PDIP itu di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (4/3).

Hal itu disampaikan dalam dialog Empat Pilar MPR RI ‘Merawat Kebhinekaan Indonesia’ bersama Jubir PBNU Nabil Haroen dan pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago.

Menurut Masinton, dalam perjalanannya baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sangat berperan besar dalam merawat NKRI ini. “Jadi Muhammadiyah dan NU merupakan bagian pemilik saham terbesar bangsa ini,” kata anggota Komisi III DPR itu.

Karena itu jika ada ormas yang coba merusak kebhinekaan dan menolak Pancasila seperti Hizbut Tahrir Indoensia (HTI), maka Muhammadiyah dan NU pasti melawan. Untuk itu pula, kata Masinton, Presiden Jokowi yang berwenang kemudian mengeluarkan Perppu untuk membubarkan HTI.

“Memang belum seperti konflik di Suriah, tapi indikatornya meski kecil-kecil sudah jelas. Seperti pemboman rumah ibadah, bom bunuh diri, kasus SARA Pilkada DKI Jakarta, dan sebagainya itu masih ada upaya ke arah itu,” paparnya.

Sementara Ketua Pagar Nusa NU Nabil Haroen mengakui, akhir-akhir ini masih muncul polariasi SARA yang ingin memecah-belah bangsa ini. Namun, NU akan terus mengawal PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika), NKRI, dan UUD NRI 1945.

“Termasuk menjaga kesetaraan warga negara dalam politik keindonesiaan. Karena itu pula tak boleh ada sebutan ‘kafir’ bagi non muslim dalam berbangsa dan bernegara ini,” kata Nabil.

Sementara itu, menurut Pangi, kebhinekaan ini suatu keniscayaan. “Justru kita makin kuat karena berbhinneka tunggal ika. Ibarat ada sebelas kamar dalam satu rumah, begitu keluar rumah semuanya tetap bersatu. Seharusnya sudah final dan tak lagi membahas toleransi dan kebhinekaan,” ungkapnya. (danu)