Kerusuhan

Oleh: Tony Rosyid

CUKUP dua periode. Masing-masing lima tahun. Tak boleh lebih. Ini perintah konstitusi. Lihat UUD 1945 pasal 22E.

Intinya, jabatan Presiden itu lima tahun, dan hanya boleh dipilih sekali lagi untuk lima tahun berikutnya. Bukan enam, tujuh, atau delapan tahun. Itu melanggar konstitusi.

Tapi, jangan juga dikurangi. Lima tahun jadi tiga tahun atau empat tahun. Ini namanya tragedi. Jika tragedi terjadi, bangsa ini yang rugi. Tidak hanya rugi materiil, tapi sistem bisa berantakan.

Siapa yang menjamin pascakekuasaan jatuh bangsa akan lebih baik. Adanya tragedi, sistem demokrasi yang kita pakai selama ini bisa berantakan. Belum lagi potensi konflik antaretnis dan korban nyawa.

Tunda pemilu untuk menambah jabatan Presiden, ini besar peluangnya untuk mendatangkan tragedi. Bukan nambah, malah bisa berkurang. Presiden bisa dijatuhkan di tengah jalan.

Pandemi, kontraksi ekonomi, adanya kesalahan tata kelola pemerintahan yang selama ini diyakini oleh sejumlah pihak dapat menjadi trigger kejatuhan presiden, ternyata salah. Dan benar-benar salah.

Sebab, lebih banyak prediksi emosionalnya dari pada kecermatan dalam membaca data. Intinya, engak valid. Analisisnya ngawur. Tidak ilmiah dan serampangan.

Tapi, tunda pemilu untuk menambah jabatan Presiden, ini bisa jadi trigger. Bagaimana membacanya?

Lebih dari 70 persen rakyat enggak setuju. Itu survei. Bukan hanya tak setuju, sebagian mereka kecewa dan marah. Termasuk yang kecewa adalah mereka yang selama ini mendukung pemerintah.

Artinya, pendukung pemerintah terbelah. PDIP, partai pemenang Pemilu 2019 dan sekaligus pendukung pemerintah juga tidak setuju. Selain PDIP, ada sejumlah partai pendukung pemerintah juga enggak setuju. Termasuk Nasdem dan PPP.

Akademisi dan masyarakat prodemokrasi menentang dengan sangat keras. Suara mereka lantang, punya pengaruh dan bisa menggerakkan massa.

Sementara, TNI hari ini “kabarnya” tidak sepenuhnya berada dalam kendali penguasa. Jika terjadi tragedi, TNI “sepertinya” tidak akan pasang badan. TNI boleh jadi akan bersikap seperti para seniornya di kasus 98.

Menunda pemilu seperti telah menjadi puncak kemarahan rakyat yang selama ini kecewa. Mereka seperti telah berada di titik keputusasaan. Anda tahu bagaimana nekatnya orang yang putus asa.

Banyak peristiwa politik selama ini yang telah membuat mereka marah. Penundaan pemilu telah menjadi anti klimaks bagi mereka. Pertahanan mereka besar kemungkinan jebol.

Di sisi lain, ada pihak-pihak yang sedang menunggu di tikungan. Mereka berpengalaman dalam mengelola emosi massa, apalagi sedang memuncak, untuk menjadi ledakan besar. Dan itulah tragedi.

Merujuk teori 9 tahap menuju ledakan Jonathan Turner, sekarang sudah masuk tahap ke-8. Tinggal satu tahap lagi. Dan dorongan menuju tahap ke-9 ini adalah penundaan pemilu.

Penundaan pemilu berpotensi menciptakan gelombang politik yang cukup besar, dan akan ada pihak-pihak yang berselancar di atas gelombang itu.

Dan itu bukan rakyat yang selama ini kecewa. Bukan rakyat yang selama ini marah. Rakyat hanya sebuah gelombang dan terbiasa menjadi korban. Tak lebih dari itu. Para peselancarnya adalah “para elite” yang tidak mendapatkan ruang jika pemilu digelar tahun 2024.

Jangan tunda pemilu! Setop wacana tentang penundaan Pemilu. Berhenti bicara amandemen UUD 1945, jika ingin Indonesia tidak mengalami tragedi seperti 1998. (*)

* Penulis adalah pengamat politik dan pemerhati sosial