Keranda Mayat

Oleh: M. Nigara

“Korban meninggal 382 orang”:

“KPU sangat memperhatikan dan peduli serta memberi apresiasi kepada para petugas. Dan tidak mungkin mendatangi satu persatu petugas yang wafat. Kami memberikan bantuan secara simbolik… bla.. bla… bla,” begitu kata sambutan Ketua KPU Arief Budiman saat menyerahkan santunan kepada keluarga petugas KPU yang meninggal.

Nada suaranya, datar saja. Maaf, getar kepedihan, sama sekali tak terdengar. Sekali lagi, maaf, Ketua KPU seperti tidak merasakan getir: detik-detik para petugas yang meninggal, derita keluarga yang ditinggalkan. Berapa pun santunan yang diberikan KPU, tidak akan mengembalikan: ayah, ibu, orang tua, anak, adik, atau kakak mereka yang telah meninggal.

Jadi, sekali lagi, sungguh-sungguh maaf, Arief tidak memperdengarkan kepedihan itu. Ia, seolah-olah menganggap hal itu biasa saja. Sana seperti ketika ia menanggapi ribuan, bahkan bukan tidak mungkin puluhan ribu kertas suara, yang dicoblos secara tidak benar di Malaysia; “Itu biasa saja!” katanya datar-datar saja.

Padahal, petugas KPU atau mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, ada di bawah komandonya, jumlah korbannya jauh lebih dahsyat dari korban bom Bali yang menghebohkan itu. Korban bom Bali tahun 2005, meninggal 202, korban luka-luka 292, dan dampaknya menggetarkan dunia. Sementara korban KPU, meninggal 382, dan yang sakit 3582.

Mestinya, logika yang wajar saja, Arief Budiman suaranya tersendat, menahan kesedihan. Wajahnya jadi terlihat galau karena terbentang derita orang-orang yang ditinggalkan oleh 382 orang yang mereka cintai. Orang yang jadi sandaran hidup. Orang yang selama ini mengisi relung kehidupan. Alih-alih sedih, Arief malah mengatakan tidak bisa mengunjungi satu persatu. Bahkan sekadar permohonan maaf saja, tidak dilakukan.

Jika kejadian ini terjadi di Jepang, bukan tidak mungkin Arief Budiman, Wahyu Setiawan, dan lima orang komisioner lainnya melakukan harakiri alias bunuh diri. Sambil sebelumnya meminta maaf pada keluarga korban karena tak mampu diselamatkan.

Beruntung, hukum Islam mengharamkan perbuatan itu dan di Indonesia sendiri, tradisi seperti demikian juga tidak ada.

Jika ini terjadi di Korea, Thailand, Inggris, dan negara-negara maju lainnya, maka para komisioner KPU itu pasti sudah mengundurkan diri. Apa pun alasan atau penyebab kematian massal itu. Kematian yang jauh dari kewajaran. Sebagai orang yang mengaku bermoral tinggi, harusnya ada rasa tanggung jawab itu.

Anehnya, para komisioner KPU masih bisa cengangas-cengenges di setiap penampilannya di televisi.

Jadi, maaf keempat kalinya harus saya utarakan, bagaimana kita bisa percaya pada cara kerja mereka, wong menghadapi kematian massal timnya saja, mereka tak memperlihatkan rasa bersalah. Itu soal nyawa yang telah meninggalkan dan tak mungkin bisa dikembalikan saja mereka tenang-tenang, apalagi sekadar soal salah input atau salah hitung jumlah suara. Patut dapat diduga, mereka juga tak akan merasa bersalah menghadapi semua kekacauan ini.

Demi Allah, Arief Budiman, Wahyu Setiawan, dan lima komisioner KPU lainnya, bisakah kalian menjawab: “Siapakah yang bertanggung jawab atas kematian massal itu?”

Semoga kalian mau segera bertobat!! (*)

*Wartawan Senior