Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas

Kastara.ID, Jakarta – Pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terus menuai sorotan. Sejatinya tes tersebut digunakan sebagai syarat alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun beberapa pihak menilai TWK justru digunakan untuk menyingkirkan pegawai independen.

Salah satu yang diketahui bakal tersingkir dari KPK adalah penyidik senior Novel Baswedan. Penyidik KPK yang mengalami cacat permanen karena menjadi korban aksi kekerasan itu dikabarkan tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Saat memberikan keterangan (3/5), Novel tidak menyangkal kabar dirinya tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Novel menduga tes tersebut memang bagian dari upaya menyingkirkan pegawai independen dari KPK. Menurut Novel, upaya itu sudah sejak lama dilakukan.

Selain Novel, 75 pegawai KPK juga dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan dan tes lain untuk menjadi ASN. Pegawai yang tidak lolos kebanyakan adalah mereka direkrut secara independen oleh KPK. Saat itu Undang-Undang KPK belum direvisi dan pegawai statusnya bukan ASN.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas, Feri Amsari mengaku mendapat bocoran soal tes tersebut. Menurutnya, banyak keanehan dalam tes tersebut, seperti pertanyaan tentang isu terorisme, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), hingga pertanyaan seputar Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS). Ada pula pertanyaan tentang “mengapa belum menikah’, “islamnya, Islam apa.” Ada pula perrtanyaan yang dianggap paling aneh, yakni “sholat subuh pakai doa qunut apa tidak?”

Saat memberikan komentar, Selasa (4/5), Feri menuturkan, pertanyaan yang diajukan pada TWK berkaitan dengan pandangan pegawai KPK terhadap program pemerintah. Menurutnya, pertanyaan tentang FPI dan HRS terasa janggal lantaran organisasi tersebut sudah dibubarkan pada akhir 2020. Seharusnya pegawai KPK bersifat independen. Namun menurut Feri, tes tersebut seolah sengaja menggali sudah pandang politik pegawai KPK.

Feri menambahkan, pelaksanaan TWK tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK. Tes tersebut hanya berdasar pada peraturan Komisi. Padahal KPK telah menerbitkan Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang tata cara pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Dalam Perkom ini diatur syarat menjadi ASN adalah pegawai KPK tidak boleh terlibat organisasi terlarang. Terlihat pelaksanaan TWK lebih banyak membawa kepentingan pimpinan KPK dibandingkan kepentingan undang-undang.

Feri juga menilai tes tersebut adalah bentuk kesewenang-wenangan pimpinan KPK. Pasalnya selama ini peserta ujian telah melewati banyak tes untuk bisa menjadi pegawai KPK. Terlebih beberapa peserta tes merupakan calon pemimpin KPK seperti Sujanarko dan Giri Supardiono. Jika pernah lolos tes calon pimpinan KPK hingga tahap akhir, artinya menurut Feri mereka sudah lolos tes kebangsaan.

Kejanggalan lain menurut Feri, yang tidak lolos kebanyakan pegawai yang menempati posisi penting dan menangani kasus-kasus besar yang tergolong megakorupsi, salah satunya kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19. Salah satunya adalah Novel Baswedan. Itulah sebabnya kuat dugaan kuat tes wawasan kebangsaan adalah bagian dari rencana besar yakni pelemahan upaya pemberantasan korupsi. (ant)