Oligarki

Oleh: Mohammad Sabri

DI masa Aksial yang jauh—di bawah fajar benderang  tradisi Yunani antik—sebilah kata menjelma menjadi mantera: plutokrasi, sebuah anggitan yang mengandaikan bagaimana kekuasaan publik ditekuk oleh mereka yang punya harta. Belakangan plutokrasi lebih populer dikenal sebagai oligarchy.

Hartawan, si empunya kapital dan bangsawan, si pemilik wibawa kultural, juga punya jejak panjang dalam sejarah kekuasaan Nusantara. Keduanya, tidak saja saling mengukuhkan dalam pergulatan ekonomi-politik di tanah air, tapi juga menegaskan kehadiran dan tumbuh mekarnya “pesona” oligarki (oligarchy).

Oligarki dapat diandaikan sebagai bentuk struktur kekuasaan dengan pemegang kekuasaan efektif berada pada segelintir orang. Dalam konteks Indonesia, oligarki mengacu pada aliansi “hitam” politik-birokrasi-bisnis yang menautkan kepentingan bagian pucuk dari birokrasi negara, partai politik, dan pebisnis beserta keluarga mereka.

Studi kontemporer tentang oligarki di Indonesia, di antaranya bisa disimak dari karya-karya Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganising Power: the Politics of Oligarchy in the Age of Market (2004) dan Jeffrey Winters, Oligarchy (2011), yang mengandaikan keunggulan sumberdaya material sebagai kekuatan politik-ekonomi kaum oligark. Studi-studi ini menunjukkan jika demokratisasi elektoral telah mengubah paras politik-demokrasi di Indonesia, meski tanpa serta merta menyingkirkan cengkeraman kuat oligarki. Baik Winters maupun Robison dan Hadiz bahkan menyimpulkan, tingkat perubahan politik yang diperlukan untuk menghancurkan “relasi hitam” antara kekayaan dan kekuasaan politik di Indonesia, hanya bisa diraih melalui ledakan api revolusi.

Musim semi hubungan “haram” antara kekuasaan politik dan kaum hartawan, secara masif menemukan puncaknya pada masa Orde Baru yang wibawanya masih bertahan hingga kini. Perselingkuhan itu, tidak saja meluahkan kemungkinan akses bagi hartawan kepada kekuasaan, tetapi negara pun menjadi hartawan, dan hanya hartawan yang bisa jadi pejabatnya. Keduanya bertaut-berkelindan ibarat “yin-yang” dalam tradisi Taoisme, ketika siklusnya berputar-putar antara hartawan dan negarawan, negarawan yang menjadi hartawan.

Denyut nadi demokrasi Indonesia, dengan begitu, “dirampas” para oligark, menyusul aksi mereka di balik layar dalam aktus penggulingan Soeharto. Sejak itu posisi mereka nyaris tak terusik selama tahun-tahun transformasi politik. Namun—dalam pendakuan Winters—menyertai  transisi dari kediktatoran ke demokrasi adalah transisi lain yang sama-sama penting: dari “oligarki sultanistik” dengan sekelompok orang amat-sangat kaya dijinakkan secara pribadi oleh Soeharto menuju “oligarki penguasa kolektif elektoral” yang lebih carut-marut  karena sangat lemahnya kekangan efektif terhadap kekuasaan oligarkis. Kapasitas untuk menggunakan kekayaan secara strategis, pada urutan faktualnya, muncul sebagai salah satu sumber daya kekuasaan paling menyilaukan dalam politik elektoral di Indonesia.

Dengan lain perkataan, ada transisi lain yang terbit di Indonesia pada 1998 pasca reformasi: dari “oligarki jinak” ke “oligarki liar” yang menyebabkan meningkatnya aneka risiko  dan biaya bagi mereka yang mengontrol kapital. Permasalahan fundamentalnya adalah, Indonesia menemukan dirinya sebagai bangsa yang dikerkah sekelompok oligark dan elite berpengaruh yang prilaku merusaknya nyaris tak terbendung dan, sayangnya demokrasi elektoral, tidak saja kian lesu darah, tapi juga tidak dirancang secara sungguh-sungguh untuk menekuk pergerakan mereka.

Faktanya, oligark dan elite kuat Indonesia telah merebut bahkan mendominasi sepenuhnya institusi-institusi demokratis, meski belum mampu memanfaatkannya secara masif dan kolektif untuk mencapai oligarki sipil. Tetapi, gejala kian melemahnya civil society di Indonesia, cepat buyarnya kekuataan rakyat setelah Soeharto tumbang, dan direbutnya kelembagaan politik Indonesia oleh kaum oligark dan elit berpengaruh—terutama melalui penguasaan partai politik dan media mainstream—memungkinkan kuasa kekayaan menyebar luas bagai hantu di setiap babak baru persaingan elektoral.

Perihal itu, tidak dengan sendirinya menunjukkan jika praktik demokrasi Indonesia adalah  palsu. Sebaliknya—setidaknya  pendakuan Joseph Schumpeter dalam Capitalism, Sosialism and Democracy (2008)—berdasarkan standar prosedural “persaingan bebas untuk suara bebas” justru memperlihatkan jika demokrasi Indonesia berjalan cukup baik, meski mengalami lesu darah pada detak jantungnya.

Perjumpaan “kekuasaan-kekayaan” selalu urgen dalam kehidupan politik, terlepas demokratis atau tidak. Dalam banyak hal, interaksi antara oligark, kekayaan, media, partai politik, dan demokrasi di Indonesia kian memperlihatkan kesamaan dengan ekspresi kekuasaan oligarkis di negeri-negeri demokrasi seperti Amerika Serikat. Perbedaan utamanya, terletak pada civil society dan supremasi hukum jauh lebih meresap kuat di Amerika Serikat ketimbang di Indonesia.

Ketika demokrasi Indonesia terkonsolidasi, para oligark bergegas mengukuhkan posisi sebagai pelaku utama dalam kehidupan politik. Cengkeraman mereka terlihat sangat kuat dalam struktur dan operasi partai politik—termasuk kontrol oligarkis terhadap siapa yang bisa muncul sebagai calon pemimpin partai, kandidat pejabat tinggi, penentu pemenangan “lelang” proyek-proyek negara, dan bagaimana partai politik digunakan sedemikian rupa untuk “mengawetkan” kekuasaan-kekayaan mereka.

Alih-alih membawa angin perubahan, demokrasi elektoral hasil reformasi di tanah air justru memperkuat hasrat dan siklus hartawan menjadi penguasa: politik untuk menjadi hartawan, dan berharta demi kekuasaan politik. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).