Masjid Istiqlal

Oleh: Thobib Al-Asyhar

LEBARAN menjelang. Banyak orang yang membuat daftar keinginan. Menyiapkan makanan spesial, kue-kue lebaran, dan peralatan rumah tangga. Yang jamak, beli pakaian baru. Kadang beli HP baru, kendaraan baru, perhiasan baru, peralatan rumah tangga baru, dan lainnya yang bisa dipakai di hari raya.

Banyaknya orang yang memiliki daftar keinginan saat lebaran sangat terkait dengan budaya. Kadang, kekuatan tradisi lebih dominan daripada spirit lebaran itu sendiri. Beberapa hal bisa disebut, misalnya keharusan mengenakan baju baru, menyiapkan makanan khas, pemasangan ornamen khusus, dan lain-lain.

Tentu, mengikuti tradisi tidak ada salahnya. Selama tradisi yang diikuti baik, justru akan menjadi penguat spirit lebaran. Berkunjung (silaturahim) ke sanak keluarga, tetangga, teman, dan sahabat untuk saling memaafkan dan menguatkan ikatan persaudaraan adalah tradisi yang berbanding lurus dengan nilai-nilai lebaran. Hanya saja, jika lebaran dirayakan sebatas hal-hal yang bersifat kesenangan material, maka lebaran akan kehilangan maknanya.

Lebaran seharusnya sebagai momentum peningkatan kualitas diri, untuk saling ikhlas memaafkan kesalahan dan khilaf sesama. Jika spirit itu tercerabut, maka lebaran hanya murni tradisi budaya tahunan tanpa bekas batin. Paling tidak, menjadi berkurang. Kita hanya sibuk dengan urusan-urusan ekonomi, prestise sosial, kebanggaan psikologis, tetapi minus keterhubungan dengan Tuhan dan sesama.

Lalu, bagaimana kita menyikapi munculnya daftar keinginan-keinginan saat lebaran? Akankah kita tetap boleh berkeinginan? Jawabnya boleh, asal wajar dan sebatas kemampuan. Sudah tidak terhitung orang pada akhirnya terjerembab ke lubang penyeselan karena terlalu banyak keinginan yang melewati batas diri.

Dalam konteks lebaran, kuncinya ada pada pengendalian keinginan yang over dosis. Kita harus mampu membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Kebutuhan itu terukur, sementara keinginan sulit diukur. Selama manusia masih memiliki unsur kepribadian yang disebut “nafs” dengan komponen “syahwat” (birahi) dan “ghadlab” (marah/agresi), maka keinginan memang tidak bisa dibatasi.

Inti dari lebaran adalah bagaimana kita menemukan kesejatian diri setelah berpuasa Ramadan. Selama satu bulan penuh, jiwa kita dididik dengan keras. Lapar, haus, menahan emosi dan syahwat, serta berbagai amalan baik seharusnya “mendewasakan” jiwa dalam menghadapi tantangan, termasuk mampu mengendalikan keinginan-keinginan yang menjadi kelemahan manusia.

Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari, Shahibul Hikam, telah mengajarkan kepada kita begini: “Sedikitkanlah keinginanmu untuk senang, niscaya sedikit pula rasa kecewamu”. Maksud dari ungkapan tersebut adalah bahwa semakin banyak keinginan seseorang untuk memperoleh kesenangan, maka semakin sering pula ia akan merasa kecewa. Apa maksudnya? Secara psikologis, perasaan kecewa itu bermula dari adanya gap antara harapan dan kenyataan.

Semua kita tahu, keinginan manusia itu tanpa ada batasnya (borderless) atau tak bertepi, sementara kemampuan manusia amatlah sangat terbatas. Di sini akan terjadi gap. Apalagi antara keinginan dan ikhriar tidak berbanding lurus. Maka benar apa yang dinasehatkan oleh Ibnu Athaillah, sedikitkanlah keinginanmu untuk bersenang-senang.

Imam Al-Ghazali dalam magnum opusnya, Ihya ‘Ulumiddin, menguraikan dengan apik tentang akibat orang yang memiliki banyak angan-angan (thuulul amal). Menurutnya, dampak nyata dari “thuulul amal” ada empat hal, yaitu:

Pertama, sering meninggalkan taat kepada Allah swt dan bermalas-malasan (dalam beribadah). Dawud Ath-Thai berkata: “Barangsiapa takut terhadap ancaman Allah, maka yang jauh akan menjadi dekat. Dan barang siapa yang panjang angan-angan, maka menjadi buruk amalnya.”

Seseorang yang memiliki banyak angan-angan (keinginan) hampir bisa dipastikan lebih karena didorong oleh nafsu (syahwat dan ghadlab). Meminjam istilah Sigmund Freud muncul dari alam bawah sadar yang dikuasi oleh “id” yang menuntut “pleasure principle” atau prinsip-prinsip kesenangan.

Abu Zakariya Yahya bin Muadz Ar-Razi, seorang ulama yang hidup pada abad ke-3 H yang menurut Imam Ad-Dzahabi sebagai salah satu ulama besar yang memiliki ungkapan-ungkapan terpuji dan nasehat yang masyhur, berkata: “Panjang angan-angan (thuulul amal) itu memutuskan setiap kebaikan, tamak mencegah dari setiap kebenaran, sabar membawa kepada keberuntungan, dan nafsu mengajak kepada setiap kejahatan.”

Kedua, membentuk sikap untuk meninggalkan dan menunda-nunda taubat. Sering kita mendengar orang berceloteh, mumpung masih muda kita menikmati dunia, saat tua kelak kita bisa bertaubat. Dia tidak sadar bahwa malaikat maut bisa datang kapan saja. Jika kita terlalu banyak dosa, lalu kita terlambat menyadarinya (taubat), maka celakalah hidup ini. Banyaknya keinginan hidup senang dengan melupakan untuk membahagiakan diri dan orang lain akan menutup, setidaknya mengurangi kesadaran akan pentingnya dekat dengan Tuhan.

Ketiga, menjadikan sebagai pribadi yang suka menimbun dan menumpuk-numpuk harta. Istilah sederhanya berjiwa materialistik. Semua hal hidup di dunia ini diukur dengan ketersediaan harta, jabatan, gengsi, dan segala hal prestise lainnya. Abu Dzar ra berkata: “Aku bisa mati terbunuh oleh angan-angan akan suatu hari yang tidak sempat kutemui.” Kepadanya ditanyakan, “Bagaimana bisa begitu hai Abu Dzar?”. Ia menjawab, “karena angan-anganku melampaui batas umurku.”

Betapa banyak keinginan itu bisa membutakan hati karena jiwanya dikuasai oleh “hubbud dunya” atau mencintai harta kekayaan secara berlebihan. Padahal harta hanyalah titipan Tuhan yang seharusnya cukup sampai di tangan, bukan sampai hati. Bukankah Al-Ghazali pernah bilang: cinta harta dan takut mati akan menumpulkan hati.

Keempat, menjadikan hati semakin keras. Hidup yang lebih banyak diselimuti keinginan (berangan-angan) berlebih sepanjang usianya menjadikan lupa akan kematian. Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya yang paling aku takutkan dari anda ada dua hal: terlalu banyak angan-angan dan menuruti keinginan nafsu.”

Dalam diri manusia memang “diinsert” oleh Allah dengan potensi takwa dan fujur (baik dan buruk). Namun Allah tetap membekali akal dan hati sebagai pengendali. Peran akal agar manusia mampu menganalisa kejadian (peristiwa), semantara hati dapat untuk merasa dan mencintai, kepada kepada Tuhan, sesama, dan lingkungan.

Sekarang kembali kepada kita, apakah lebaran kali ini lebih banyak dikuasai keinginan (angan-angan) yang hanya membuat kita senang, atau benar-benar ingin menjadikannya sebagai momentum perbaikan diri, baik kepada Tuhan, sesama, maupun lingkungan untuk menemukan kebahagiaan sejati.

Selamat berhari raya Idul Fitri 1440 H, “taqabbalallahu minna wa minkum, kullu am wantum bikhair.” Semoga kita semua menjadi pribadi-pribadi saleh dan bertakwa. Amin. (*)

*Penulis buku Fikih Gaul, dosen Psikologi Islam di SKSG UI Salemba.