Liverpool

Oleh: Jaya Suprana

PADA awal Juli 2020 sementara sedang berupaya menyesuaikan dengan suasana yang disebut sebagai New Normal, saya menerima kiriman WA sebagai berikut,“ Pak Jaya yang baik, sekiranya memungkinkan mengulas, apakah pencapaian Jurgen Klopp (orang Jerman) membawa Liverpool (klub Inggris) menjadi juara liga utama Inggris setelah 30 tahun sesuatu yang luar biasa? Apakah adanya nilai-nilai dasar/spirit “kejermanan” yang tidak dipunyai bangsa lain?“ Thanks. Salam hormat, Idwan Suhardi.

Pertanyaan
Karena yang bertanya adalah DR. Idwan Suhardi sebagai mantan deputi Menristek merangkap mahaguru filsafat teknologi saya maka meski saya bukan ahli sepakbola Inggris mau pun antropologi Jerman, saya nekad memaksakan diri untuk menjawab pertanyaan tentang pertama apakah pencapaian Jurgen Klopp (orang Jerman) membawa Liverpool (klub Inggris) menjadi juara liga utama Inggris setelah 30 tahun sesuatu yang luar biasa, dan kedua tentang apakah adanya nilai-nilai dasar/spirit “kejermanan” yang tidak dipunyai bangsa lain.

Ya
Pertanyaan pertama relatif mudah dijawab dengan cukup satu kata saja yaitu “Ya!”.

Memang tidak perlu diragukan lagi bahwa klub Liverpool setelah 30 tahun tidak menjadi juara Liga Utama Inggris justru pada masa pagebluk Corona merundung planet bumi malah menjadi juara, jelas merupakan sesuatu yang luar biasa. Luar biasa menyenangkan bagi para pemuja Liverpool dan luar biasa menyedihkan bagi kesebelasan yang dikalahkan oleh Liverpool yang sengaja tidak saya sebut di sini agar tidak timbul masalah tak diinginkan dengan para pemuja klub yang dikalahkan Liverpool.

Sebenarnya saya bukan pemerhati sepakbola Inggris sebab sebagai warga Indonesia saya lebih mengharapkan (meski masih gagal) tim Indonesia bisa berlaga di arena pertarungan memperebutkan Piala Dunia di Qatar 2022. Namun saya tetap mengakui kemenangan sebuah klub sepakbola setelah gagal menang selama 30 tahun memang merupakan sesuatu prestasi luar biasa indah apalagi di tengah suasana luar biasa buruk gegara Covid-19.

Tidak
Sebagai seorang insan yang pernah sepuluh tahun hidup belajar dan mengajar bukan sepakbola tetapi musik di Jerman sebenarnya saya bisa menjawab pertanyaan ke dua dengan jawaban juga satu kata yaitu “Tidak!”. Namun jawaban tidak ini perlu diperjelas.

Saya memang mengagumi peradaban Jerman termasuk di bidang sepakbola di mana Jerman 4X Berjaya memenangkan Piala Dunia pada tahun 1954, 1974, 1990, 2014. Kebetulan pada tahun 1974 saya berada di Jerman maka sempat ikut tergetar sukma ketika itu saya bersama teman-teman warga Jerman menyaksikan lewat televisi betapa dahsyat kesakti-mandragunaan Franz Beckenbauer dan kawan-kawan berulang kali menyepak bola masuk ke gawang lawan.

Pada masa itu, para dewa sepakbola Jerman seperti Gerd Mueller, Gunther Netzer, Paul Breitner, Berti Vogt, Sepp Meier memang tidak tertandingi oleh siapa pun di jagad raya ini. Namun kemudian saya sangat kecewa prestasi jeblok tim nasional Jerman yang semula dijagokan untuk menjadi juara dunia 5X  pada perebutan Piala Dunia 2018.

Indonesia
Segenap fakta itu membuktikan bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya nilai-nilai dasar spirit “kejermananan” monopoli Jerman yang tidak dipunyai bangsa lain. Yang ada adalah nilai-nilai dasar spirit “menciptakan prestasi terbaik” yang terbukti juga dimiliki oleh para putra terbaik Indonesia seperti Tan Joe Hok, Ferry Sonnevile, Eddy Jusuf, Tan King Gwan, Nyoo Kiem Bie yang untuk pertama kali dalam sejarah dunia berjaya merebut Piala Thomas pada tahun 1958. Setelah itu, bermunculan para pahlawan bulutangkis sakti-mandraguna Indonesia kelas langitan seperti Rudi Hartono, Liem Swie King, Taufik Hidayat, Susi Susanti, Alan Budikusuma dan lain-lainnya yang mewarisi rasa percaya diri plus semangat kebanggaan nasional dari Tan Joe Hok dan kawan-kawan.

MERDEKA! (*)

* Penulis adalah pembelajar peradaban bangsa-bangsa.