MIKTA

Kastara.ID, Johannesburg –  “Dari kegiatan yang kami koordinasikan selama Keketuaan MIKTA tahun 2018, dapat dilihat perhatian Indonesia yang besar pada isu kepemudaan. Kami mendatangi kampus dan mengedepankan agenda-agenda creative and digital economy yang erat kaitannya dengan anak muda. Kami berharap MIKTA dan Afrika Selatan di masa mendatang dapat mengeksplorasi kerja sama di bidang ini,” ujar Duta Besar Salman Al Farisi saat mengisi seminar mengenai MIKTA di Johannesburg, Afrika Selatan (3/9).

Perwakilan negara-negara MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia) di Afrika Selatan bekerja sama dengan lembaga think-tank terkemuka South African Institute of International Affairs (SAIIA) menyelenggarakan seminar “What is MIKTA and Why It Matters?” di Witwatersrand University, Johannesburg. Kegiatan ini menghadirkan 5 (lima) Kepala Perwakilan Negara-negara MIKTA di Afrika Selatan dan mengundang kehadiran mahasiswa, akademisi,dan media setempat.

Menyadari engagement yang masih terbatas, seminar bertujuan untuk mendekatkan MIKTA kepada publik Afrika Selatan serta mencoba mengidentifikasi kerja sama yang potensial dilakukan di masa depan. Duta Besar Meksiko yang membuka kegiatan dimaksud menjelaskan latar belakang berdirinya MIKTA serta ciri fleksibilitas dan informalitas klub diplomasi ini dalam membahas isu-isu yang terkait kepentingan bersama. Meksiko yang menjadi Ketua MIKTA tahun 2019 juga mengurai tiga prioritas keketuaannya yaitu pembangunan sosial, tata-kelola global dan masa depan yang berkelanjutan.

Pembicara selanjutnya mengedepankan masing-masing kepentingan negaranya yang diakomodasi melalui forum MIKTA: Duta Besar Turki dalam hal ini menggarisbawahi upaya aktif Turki dalam isu kemanusiaan dan imigrasi; Deputy High Commissioner Australia mencoba menghubungkan keterkaitan MIKTA dan IORA yang dalam analisanya, kedua negara berpotensi untuk mengarusutamakan agenda kesetaraan gender, blue economy dan perdagangan bebas; sedangkan Deputy Chief of Mission Korea Selatan mendorong kerja sama pendidikan, terutama untuk generasi muda.

Dalam sesi tanya jawab yang berlangsung interaktif, Duta Besar Indonesia berkesempatan menjawab pertanyaan dari mahasiswa mengenai kelebihan dan kekurangan MIKTA terkait letak geografis negara-negara anggotanya yang begitu beragam. Duta Besar Indonesia menekankan keragaman lokasi, latar belakang sejarah, agama dan tahapan pembangunan, telah membekali MIKTA dengan pengalaman yang saling melengkapi serta sensitivitas kultural yang legit ketika membahas suatu isu. Hal ini menjadi kelebihan MIKTA sebagai middle power dalam menghadapi fenomena unilateralisme yang acapkali dihadapi di fora internasional yang lebih besar.

Dalam sesi kedua, Dr. Francis Kornegay dari Institute for Global Dialogue (IGD) membagi kajiannya atas MIKTA dengan menyatakan bahwa kehadiran forum ini tepat saat konstelasi global membutuhkan pemecah kebuntuan diplomasi. MIKTA relatif dianggap sebagai pembawa aspirasi yang berintegritas dengan latar belakang kekuatan ekonomi yang seimbang. Para Kepala Perwakilan negara-negara MIKTA mengakhiri seminar dengan menggarisbawahi kesediaan mereka untuk membuka diri menjalin kerja sama lebih lanjut dengan berbagai pihak di Afrika Selatan. (put)