Kuda laut

Kastara.ID, Bandar Lampung – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memproyeksikan Indonesia mampu memproduksi kuda laut hingga 10.000 ekor di tahun 2024 dan tahun 2020 ditargetkan memproduksi sebanyak 6.000 ekor. Proyeksi ini tentu mengacu pada ketersediaan sumber daya, terutama keberhasilan Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung dalam memproduksi benihnya secara massal.

Setidaknya ada 12 jenis kuda laut yang Indonesia miliki dan dua di antaranya telah berhasil dibudidaya yakni untuk jenis Hippocampus kuda dan Hippocampus comes. Dua jenis inilah yang ke depan akan kita dorong sebagai salah satu unggulan ekspor, mengingat nilai ekonominya yang besar. Demikian disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto di Jakarta, Jumat (4/9).

Slamet menambahkan, saat ini perdagangan kuda laut masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam. Kondisi ini jika dilakukan terus menerus akan mengancam keseimbangan stok yang ada. Oleh karena itu, meski Indonesia belum menetapkan status perlindungannya, namun berdasarkan CITES status kuda laut masuk daftar appendix II Cites yang artinya pada perdagangan internasional harus dilakukan secara terbatas.

“Keberhasilan budidaya dipastikan akan mengurangi ketergantungan dari alam dan ini saya kira baik sebagai peluang bisnis terutama untuk ekspor, meski status perdagangan internasionalnya masuk Appendix II Cites. Kementerian KLHK sebagai management authority telah menetapkan pemanfaatan kuda laut berdasarkan kuota. Oleh karenanya, proyeksi kita juga mengacu pada seberapa banyak untuk kepentingan ekspor, kebutuhan dalam negeri dan untuk restocking. Nanti akan kita petakan agar betul betul pemanfaatannya terukur dan terkendali,” jelas Slamet.

Lebih lanjut mengenai status pemanfaatannya, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Andi Rusandi mengatakan bahwa sejak 2002, semua spesies kuda laut yakni sebanyak 33 jenis masuk daftar Appendix II Cites artinya perdagangan internasional kuda laut harus memenuhi ketentuan perdagangan Appendix II Cites yakni melalui pembatasan kuota.

“Ini saya kira pentingnya bagaimana merencanakan ke depan sebuah pengelolaan yang berkelanjutan. KKP sudah mulai melakukan beberapa strategi utamanya stock assesment, implementasi pengaturan pemanfaatan, restocking, pengembangan budidaya dan riset,” beber Andi.

Di samping itu, menurutnya, saat ini perdagangan kuda laut masih memakai satuan ekor, padahal produk yang diperdagangan kebanyakan dalam bentuk olahan atau ekstrak.

Sementara Kepala BBPBL Lampung Ujang Komarudin saat dimintai keterangannya mengatakan bahwa proses perekayasaan kuda laut telah dilakukan sejak tahun 1993 dengan melakukan domestikasi, dimana puncaknya tahun 2000, BBPBL Lampung berhasil memproduksi massal untuk dua jenis kuda laut yakni Hippocampus kuda dan Hippocampus comes. Ujang juga menyampaikan, sejauh ini pihaknya telah melakukan upaya diseminasi teknologi budidayanya ke masyarakat, disamping memberikan bantuan benih dan melakukan restocking di Teluk Lampung.

“Saya kira kuda laut ini bisa jadi alternatif bisnis yang menjanjikan, ini karena pangsa pasar terbuka dan juga harga yang menggiurkan. Bayangkan untuk produk berkualitas rendah, saat ini dihargai 440 dollar AS; kualitas sedang sekitar 1.200 dollar AS; dan 2.600 dollar AS untuk kualitas tinggi. Saat ini permintaan dunia mencapai 24 juta ekor per tahun. Saya rasa ini momentum untuk mendorong budidaya lebih berkontribusi sebagai sumber devisa ekspor,” ungkap Ujang.

Ujang juga mengungkapkan, saat ini BBPBL Lampung, telah memproduksi massal dari benih hingga menjadi induk. Ia merinci saat ini ada sekitar 250 ekor induk, produksi benih sebanyak 3.000 ekor.

“Kami punya target, tahun ini bisa produksi benih hingga 5.000 ekor dan calon induk 500 ekor. Mengenai action plan ke depan, kita pastikan untuk terus mengintensifkan kerjasama dengan Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, terutama berkaitan kegiatan restocking dan mengembangkan teknologi budidaya dalam wadah dengan volume lebih besar. Potensi pengembangan cukup luas di antaranya Lampung, Kep. Riau, Sulsel, Bali, Jateng (Cilacap), Sulteng, Aceh dan Maluku Utara. Intinya PR kita yakni bagaimana mendorong pemanfataan melalui budidaya yang lebih terukur dan tentu berbasis konservasi. Itu kata kuncinya,” terang Ujang.

Sebelumnya dalam kegiatan Webinar yang bertajuk “Seahorse Marine Technology, Utility and Legality in Indonesia” melalui daring atas kerja sama BBPBL Lampung dengan Universitas Lampung, Selasa (1/8), Wakil Rektor Universitas Lampung Heryadi menegaskan, pihak perguruan tinggi siap berkolaborasi terutama dalam mendorong penelitian dan pengembangan kuda laut di Provinsi Lampung.

“Sebagai institusi dengan tri dharma perguruan tinggi, kami punya tanggung jawab sama untuk turut berkontribusi dalam mendorong pemanfaatan sumber daya ikan di Provinsi Lampung. Kami sudah sepakat dengan BBPBL Lampung untuk berkolaborasi, termasuk dalam hal pengembangan kuda laut,” ungkapnya. (wepe)