ASN

Oleh: Adam Setiawan

Di tengah hiruk pikuk penyelenggaraan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada tahun 2018, informasi terkait dibukanya formasi untuk CPNS menjadi yang paling banyak dicari oleh masyarakat di Indonesia.

Jika ditinjau dari data yang mendaftar sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Muhammad Ridwan bahwa jumlah pelamar CPNS 2018 yang telah mendaftar secara tuntas di situs sscn.bkn.go.id sebesar 3.627.981 orang. Hal tersebut menunjukkan antusias masyarakat Indonesia untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sangat tinggi.

Dengan tingkat antusias yang sangat tinggi, telah memberikan pekerjaan rumah yang berat bagi Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk menjaring CPNS yang berkualitas dan berintegritas. Dalam konteks ini kualitas dan integritas merupakan parameter untuk menilai kinerja ASN.

Berdasarkan segi kualitas, ASN yang telah ada masih dirasa kurang memumpuni untuk mendapatkan posisi tersebut yang dapat diamati dari kinerjanya. Sebagaimana kita ketahui PNS/PPPK atau yang lazim disebut dengan ASN telah diserahi untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan dan tugas pembangunan.

Pada tahap implementasinya ASN acapkali bertindak tidak sesuai bahkan menyalahi prosedur yang telah ditentukan. Hal ini dikarenakan minimnya ilmu yang dimiliki atau tidak kompatibel sebagaimana instansi ia bekerja. Sehingga berpengaruh pada proses penyelenggaraan pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan. Sebagai contoh, di Kalimantan beberapa pegawai yang ditempatkan di Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral hanya sedikit yang mengerti mengenai seluk-beluk pertambangan.

Selain itu berdasarkan segi integritas, banyak ASN yang tidak memiliki integritas yang tinggi. Pelanggaran demi pelanggaran dilakukan oleh ASN baik kaidah asusila, agama, sopan santun, maupun melanggar kaidah hukum yang berlaku. Sebagai contoh pelanggaran terhadap kaidah hukum adalah tindak pidana korupsi. Hal ini didukung dengan data yang dikemukakan oleh Kepala BKN Bima Haria Wibisana bahwa oknum ASN yang terjerat kasus korupsi hingga saat ini berjumlah 2.357 bahkan telah ada yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht).

Dari uraian di atas, telah menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah sistem merit itu diterapkan di Indonesia? Untuk mengetahuinya perlu terlebih dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan sistem merit. Secara harfiah, meritokrasi berasal dari kata merit yang memiliki arti “kebaikan” atau “manfaat”, dan kratos atau cratein yang berarti “kekuatan”, “kekuasaan”. Terminologi meritokrasi pertama kali dicetuskan pada tahun 1958 oleh M. Young, seorang pakar sosiologi.

Amir Hasan Dawi berpendapat bahwa meritokrasi adalah satu pandangan atau memberi peluang kepada orang untuk maju berdasarkan meritnya (kemampuan), yakni berdasarkan kelayakan dan kecakapannya atau kecemerlangannya. Hal selaras dikemukakan oleh Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Irham Dimly bahwa Sistem merit atau meritokrasi adalah sistem yang dimaksudkan untuk menempatkan orang pada jabatan yang tepat sesuai kualifikasi, kompetensi, dan kinerjanya.

Pada perkembangannya di Indonesia, sistem merit tersebut telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, walaupun frasa “Sistem Merit” tidak disebutkan secara eksplisit yang dalam hal ini hanya menyebutkan “untuk mewujudkan profesionalisme PNS”. Seiring berjalannya waktu frasa “Sistem Merit” disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.

Berdasarkan Pasal 1 ayat 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menyebutkan bahwa Sistem Merit adalah kebijakan dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

Jika ditautkan antara sistem merit dengan rekrutmen, sistem merit merupakan guidance yang digunakan dalam proses rekrutmen. Sehingga proses rekrutmen dapat lebih selektif dalam menjaring ASN yang berkualitas dan berintegritas. Namun mengapa pada realitas (sein), ASN yang telah ada merupakan hasil seleksi pengadaan, dapat dikatakan tak sesuai dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang diharapkan.

Dengan tolok ukur sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa rendahnya kualitas terlihat dari latar belakang pendidikan yang dimiliki. Dari total ASN di Indonesia yang berjumlah 4,475 juta, 64% di antaranya hanya memiliki kemampuan administratif. Ada juga guru 37% dan tenaga kesehatan 4,43%. Pada pengangkatan PNS terakhir pun, hampir 58% berasal dari tenaga honorer.

Kurangnya integritas yang dimilliki oleh ASN, mengakibatkaan pelanggaran demi pelanggaran yang acapkali dilakukan, baik itu melanggar kaidah asusila, agama, sopan santun, maupun melanggar kaidah hukum yang berlaku. Hal seperti inilah yang kemudian mempengaruhi proses pelayanan publik menjadi buruk. Alhasil ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap ASN semakin meningkat.

Dengan demikian solusi yang tepat untuk diberikan adalah pertama, pada tahapan pengadaan dengan cara rekrutmen seyogyanya dilakukan secara selektif dengan memprioritaskan kandidat yang mempunyai kualitas dan integritas. Tentunya dengan mengedepankan sistem merit berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

Kedua, peran Komisi ASN (KASN) sebagai lembaga pengawas pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN haruslah diperkuat yang niscaya meminimalisir lolosnya ASN yang tidak berkualitas dan berintegritas. (*)

Penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.