Ukuran

Oleh: Jaya Suprana

SATU dari antara sekian banyak unsur di dalam apa yang disebut sebagai sains adalah apa yang disebut sebagai ukuran. Tanpa ukuran tidak ada sains.

Test
Di tengah kemelut pageblug Corona, ukuran menjadi penting untuk mengetahui daya tampung rumah sakit dan tenaga medik yang tersedia untuk perawatan para pasien Corona.

Rapid test, PCR dan TCM menjadi penting  untuk mengukur keterpaparan terhadap virus Corona.

Untuk mengukur gula darah ada peralatan test gula darah mulai dari yang sederhana sampai yang super hiper “modern”. Untuk mengukur tekanan darah ada peralatan pengukur tekanan darah. Dan selanjutnya ada test urin, test hemoglobin, test hormon, test jantung, test hati, test mata, test air mata, test indera dengar, test paru-paru dan seterusnya dan sebagainya.

Di luar wilayah test kesehatan, ada test kecerdasan seolah kecerdasan bisa diukur. Bahkan ada test sidik jari untuk mengukur kecerdasan seseorang demi menentukan pendidikan bidang apa yang cocok untuk sang diri yang diukur.

Ada pula test kepribadian untuk mencari jodoh. Tidak diketahui apakah sudah ada test untuk mengukur kadar kasih-sayang seorang ibu kepada anaknya. Atau tes kadar keimanan seorang umat beragama.

Olahraga pertandingan seperti sepakbola, tenis, tenis meja, bulutangkis, voli, polo air, tanpa ukuran mustahil bisa menetapkan siapa menang siapa kalah. Bahasa ukuran internasional seperti senti, mili, kilo, meter, liter, gram, derajat dan lain sebagainya didikte oleh kaum imperialisme ukuran sehingga akhirnya digunakan oleh mayoritas bangsa dan negara di planet bumi.

Ukuran-ukuran tradisional Nusantara seperti sejengkal, selutut, sedahi, sekelingking, sejempol, setelunjuk, sekejap, seumur jagung, dll lenyap ditelan jaman akibat kekuasaan imperialisme berjaya membentuk peradaban umat manusia termasuk peradaban Indonesia. Jangankan ukuran tradisional, bahkan bahasa tradisional juga rawan punah.

Penghargaan
Museum Rekor-Dunia Indonesia memberikan penghargaan pada prestasi yang bisa diukur. Maka tidak ada anugrah MURI bagi perempuan yang (dianggap) paling cantik, manusia yang (dianggap) paling jujur,  ibunda yang (dianggap) paling mengasihi anaknya, suami yang (dianggap) paling menyayangi istrinya dan sebaliknya, atau manusia yang (dianggap) paling baik hati.

Sebagai penghargaan kepada perihal yang tidak bisa diukur, MURI belajar dari lembaga penghargaan Nobel. Maka MURI menganugerahkan penghargaan Mahakarya Kebudayaan kepada para tokoh yang dianggap berjasa dalam bidang pendidikan, kesenian, ekonomi, iptek, pemikiran, kemanusiaan dll. Namun MURI tidak menganugerahkan penghargaan atas rekor manusia yang paling berhasil melakukan korupsi tanpa ketahuan melakukan korupsi, manusia yang membunuh paling banyak manusia, manusia atau lembaga yang paling merusak alam serta perilaku bersifat destruktif lain-lainnya.

Dumeh
Akibat terlalu bersemangat mengukur segala sesuatu di alam semesta maka homo sapiens cenderung  dumeh mengedepankan profit yang bisa diukur ketimbang benefit yang tidak bisa diukur.

Pragmatisme dan kapitalisme jauh lebih berkembang ketimbang altruisme dan humanisme yang berdasar ukuran neraca rugi-laba memang terkesan malah merugikan mereka yang melakukannya.

Sistem pendidikan lebih memaksakan kurikulum yang bisa diukur demi dipukul-ratakan terhadap insan manusia yang an sich tidak bisa dipukul-ratakan dan diseragamkan seperti robot. Alhasil manusia sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa malah diorientasikan kepada kurikulum yang sekedar ciptaan manusia.

Ilmu statistik sengaja dihadirkan demi bisa mengukur segenap fenomena kehidupan atas keyakinan bahwa segenap fenomena kehidupan memang bisa dan perlu diukur.

Agama dipadati peraturan-peraturan ritual yang wajib dipatuhi oleh umatnya secara terukur.

Lembaga kepemerintahan fokus mempertahankan bahkan meningkatkan daya tahan kekuasaan demi kepentingan diri sendiri ketimbang mengabdikan diri kepada kepentingan rakyat.

Duwit menjadi tujuan hidup yang diberhalakan di atas segala-galanya sebab duwit memang lebih bisa diukur jumlahnya sebagai profit untuk kepentingan diri sendiri ketimbang manfaatnya sebagai benefit untuk kepentingan bersama. Kekayaan harta benda yang memang bisa diukur kuantitasnya menjadi lebih penting ketimbang kekayaan budi pekerti yang memang tidak bisa diukur kuantitasnya apalagi kualitasnya.

Keadilan lebih sulit diterapkan ketimbang hukum, sebab keadilan memang lebih sulit diukur ketimbang hukum.

Ojo Dumeh
Tanpa sadar umat manusia dumeh merasa lebih yakin terhadap segala sesuatu yang bisa diukur ketimbang yang tidak bisa diukur. Maka kasih-sayang dan welas-asih yang memang tidak bisa diukur lambat namun pasti menghilang dari panggung peradaban umat manusia.

Sikap dan perilaku berpihak kepada kaum tertindas, kaum miskin, kaum lemah dianggap anakronis alias ketinggalan zaman akibat yang dianggap lebih benar adalah sikap dan perilaku berpihak kepada kaum penguasa, kaum penggusur dan penindas, karena dianggap lebih bermanfaat bagi peradaban.

Kemiskinan dianggap aib bahkan sampah yang merusak citra peradaban. Alih-alih kemiskinan, malah orang miskin yang dibasmi habis atas nama pembangunan. Maka terjadilah paradoks bahwa pembangunan infra struktur yang bertujuan menyejahterakan ternyata malah menyengsarakan rakyat .

Insya Allah, pageblug Corona menyadarkan umat manusia ojo dumeh maka tersadar dari mabuk kepayang akibat keterkeburan memberhalakan keharta-bendaan di alam semesta ini. Insya Allah, pageblug Corona menyadarkan umat manusia untuk kembali ke fitrah peradaban yaitu kasih-sayang dan welas-asih yang telah disingkirkan dari panggung peradaban untuk diganti dengan keterkeburan dan kebencian yang merusak peradaban.

Pada hakikatnya kasih-sayang dan welas-asih tidak perlu sebab tidak bisa diukur namun lebih perlu nyata dipersembahkan oleh manusia kepada alam dan sesama manusia. Kemanusiaan adalah mahkota peradaban. (*)

* Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan.