Pilpres 2019

Oleh: Christianto Wibisono

KEMBALI di Monitor Pilpres hari Sabtu, 5 Januari 2019, dengan pelbagai dinamika yang menonjol adalah dua kubu sepakat menarik panelis kubu 01, Adnan Topo Husodo dan ICS dan Bambang Widjojanto dari kubu 02. Setelah beredar petisi penolakan BW antara lain oleh GM. Yang sudah disetujui oleh dua kubu adalah Prof. Hikmahanto Juwana (Guru Besar Hukum UI), Prof. Bagir Manan (Mantan Ketua MA), Ahmad Taufan Damanik (Ketua Komnas HAM), Bivitri Susanti (Ahli Tata Negara), dan Margarito Kamis (Ahli Tata Negara). Sementara satu orang lainnya adalah unsur pimpinan KPK yang saat ini masih dalam konfirmasi.

Christianto Wibisono (CW): Pagi pak, masyarakat tampaknya sudah jenuh dengan politik tapi berita penurunan  harga BBM 5 Januari 2019 kok ya tidak bergema gegap gempita. Link berikut ini adalah perkembangan mutakhir AS Taliban oleh pakar geopolitik Robert Kaplan agar kita up to date dengan situasi global (It’s Time To Get Out Of Afghanistan, Analyst Robert Kaplan Says).

Bung Karno (BK): Ya, persis di AS juga sama, berita ekonomi membaik penyerapan tenaga kerja 312.000 bulan Desember. Tapi, yang jadi big news adalah Ketua DPR, Nancy Pelosi, siap lanjutkan konfrontasi soal budget AS. Elite di zaman modern ini harus belajar mengatasi kritik termasuk Xi Jinping meskipun didewakan sebagai supreme leader ketiga setelah Mao Zedong dan Deng Xiao Ping.

CW: Apa pesan Bapak dalam debat perdana 17 Januari tentang Hukum, HAM , Korupsi dan Terorisme?

BK: Itu soal geopolitik perimbangan kekuatan global, filosofi dan sistem politik yang totalitas interaksi domestiknya akan menentukan apakah suatu negara kuat dan berbobot disegani dunia secara “nyata” atau hanya “ofensif mercu suar” yang tidak konkret. Saya masih ingat wartawan Soehardi menulis di Sinar Harapan sepulangnya ikut saya dalam KTT AA yang batal di Aljazair Juni 1965. Dengan judul “Kaca Benggala”, dia lugas mengingatkan saya bahwa ambisi Conefo saya tidak mungkin terwujud kalau ekonomi nasional Indonesia sendiri masih berantakan, defisit dan terpuruk. Kalau data statistik ekonomi 1962-1964 itu merosot terus bagaimana mau berteriak jadi pemimpin Conefo. Ini PBB tandingan yang abortus setelah saya lengser. Yang jadi Cuma gedungya dirombak jadi gedung MPR DPR sekarang ini. Jadi harus real delivery.

CW: Lho, ya ini kan Presiden ke-7 secara teknokratis sudah all out dengan moto kerja, kerja, kerja – infratruktur, infrastruktur, infrastruktur. Kenapa kok “mood” di tim suksesnya sendiri masih gamang galau “was-was takut mendadak kalah”.

BK: Begini lho, kalau soal ekonomi aman dan nyaman, pasti OK semua. Nah kalau ekonomi aman tapi masih ada ganjelan yang kemudian dikaitkan dengan SARA, ya sudah all out saja. Sebab memang sebelum ekonomi bisa beres, politik harus stabil aman dan tidak dalam “Perang SARA”. Kalau Perang SARA pasti akan berbahaya bisa jadi Bharata Yudha barjibarbeh. Katanya sudah sumpah tidak mau lihat Indonesia bubar atau punah, ya konsistenlah. Pemilu soal 5 tahunan maksimal 2 termin; sabar 10 tahun untuk ganti presiden. Jangan pakai isu SARA untuk dongkel presiden petahana secara licik, licin, lihai.

CW: OK pak resep konkret.

BK: 10 Januari 2019 Presiden petahana mengumumkan bahwa negara mohon maaf kepada semua masyarakat korban pelanggaran HAM Berat (PHB). Negara menyatakan duka cita, belasungkawa dan keprihatinan atas korban harta, jiwa, penderitaan jiwa, akibat penjarahan, pembakaran dan perkosaan serta pelecehan seksual oleh oknum aparatur negara. Dan atau pembiaran oleh aparatur pada seluruh peristiwa pelanggaran HAM sejak 1945 sampai 2018. Negara berjanji akan menuntaskan investigasi dan peradilan terhadap aparat pelaku dan aparat yang melakukan pembiaran terjadinya PHB ketika mereka berkuasa. Mereka akan dicabut hak politiknya untuk menduduki jabatan publik agar tidak terulang lagi kasus PHB yang dilakukan dimasa lampau. Tidak akan ada penghukuman fisik dalam semangat Nelson Mandela. Tentu saja sesuai dengan prinsip hak asasi manusia yang hakiki, tidak boleh berlaku untuk anak cucu kerabat yang tidak terlibat. Jadi kalau dulu dianggap melanggar HAM menahan tapol era Orde Lama (by the way yang menahan itu Jenderal Nasution selaku Penguasa Perang Pusat, lho) dan Soeharto juga menahan melalui Pangkopkamtib, maka anak-anak, menantu, kerabat, tidak harus menanggung dosanya.

CW: Lha, kalau Capres 02 bagaimana rekam jejaknya?

BK: Ya kita balik ke investigasi TGPF, tapi ujungnya tetap Rekonsilaisi ala Mandela. Mulai kemarin beredar lagi video jumpa pers Ketua Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo selaku pelapor TGPF Tim Gabungan Pencari Fakta Mei 1998 yang mengungkap hasil kerja tim yang juga mengalami tekanan sehingga tidak bisa tuntas. Ya, kan kita sudah bahas FBI saja tidak bisa pecahkan konspirasi pembunuhan Kennedy. Kita pakai model Mandela saja.

CW: Berapa persen jaminan elektabilitas petahana bertambah kalau presidan membuat kebijakan politik dramatis seperti itu.

BK: Ya, tentu harus disertai aksi presidensial selama sisa 100 hari sebelum Pilpres 17 April 2019. Ini mindset tim sukses petahana harus diubah total. Sekarang ini mindset-nya adalah berstatus PM demisioner dalam kabinet parlementer. Tidak melakukan apa-apa untuk mendongkrat elektabilitas, jadi semacam lame duck presidency. Nanti kalau sudah menang 17 April 2019 baru bergerak bikin program untuk sisa tahun pemerintahan dan kelanjutan periode keduanya. Lha, itu sudah terbalik cara berpikirnya. Justru karena kalau Anda cuma jadi lame duck president dan memposisikan diri sebagai PM demisioner, maka 17 April 2019 mendadak bisa diserobot oleh penantang yang menghalalkan segala cara “SARA”. Nah, kalau anda membabat habis SARA itu selesai sampai ke akar akarnya, maka aman nyaman sampai periode kedua.

CW: Wah, itu kembali ke zaman kritikan Soehardi; bapak wishful thinking dan mercu suar akan gagal kayak Conefo, muluk muluk tidak realistis.

BK: Mungkin kamu betul, sebab memang butuh “pertobatan nasional” dari 700 ribu elite agar berjiwa besar jadi Nelson Mandela semua. Terus mengajari 280 juta rakyat supaya juga memaafkan seperti Nelson Mandela. Ya ini memang kerja besar, revolusi mental yang perlu intervensi Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalau Cuma manusia biasa, ya business as usual.

Kalau saya jadi Presiden ke-7, saya akan bilang Indonesia harus jadi panutan dan teladan dengan semangat Borobudur membangun peradaban global. Indonesia bukan Timur Tengah, Indonesia itu pusatnya Jawa Tengah dan sudah mampu membangun Borobudur yang setara dengan piramida Mesir. Bahkan lebih artistik dan lebih pro kreatif ketimbang sekadar piramida, penuh ukiran yang berbobot seni pahat batu luar biasa.

Jangan jadikan pusat dunia Jawa Tengah, jadi importir ideologi ISIS Timur Tengah, yang di sono-nya sendiri hanya melahirkan Alqaida bin Taliban dan tragedi Jamal Khasoggi.

Pancasila itu sublimasi dua ideologi sosialisme dan liberalisme yang mengombinasikan jalan tengah yang eklektik mencari yang lebih baik. Kalau dulu saya gagal karena terlalu ke kiri dan Soeharto menarik ke kanan, maka kita kembali ke tengah, jalan sublimasi, jalan dialetika eklektik memadukan the best of socialism and the creative of liberalism. Dan itu bisa dilaksanakan secara konkret karena kita sekarang sudah mengakumulai modal 75 tahun merdeka. Sudah ada aset dan pengalaman berharga, supaya kita menghormati semua pihak dalam semangat meritokrasi. Tidak boleh ada zero sumgame dan winner takes all, yang mengakibatkan bangsa ini tidak punya kekuatan korporasi yang langgeng lestari seperti nation state lain. Jangan setiap kali ganti presiden, korporasi dan partai yang mendukung kukut mulai dari nol lagi. Akhirnya Indonesia Inc tidak akan ada yang bisa men-deliver, karena yang dihadapi adalah Japan Inc, US Inc, Europe Inc, China Inc, Korea Inc, India Inc, yang semuanya kata kuncinya ya meritokrasi  delivery, kinerja, prestasi yang berdaya saing.

CW: Wah ini  sudah lebih panjang dari debat semalam suntuk. Kita sambung lagi besok dan seterusnya mungkin tiap hari kita batasi cuma 1-2 laman WA saja. Terlalu panjang orang malas baca.

BK: Ya ini karena mood-nya mau tuntaskan tantangan yang sudah 74 tahun dan 20 tahun, mau dituntaskan 100 hari. Tantangan utama adalah justru dalam 102 hari ini harus men-secure policy action and win the election. Bikin program muluk untuk kabinet yang akan datang juga useless kalau anda tidak menang 17 April 2019, gara-gara gaya PM demisioner. (watyutink/*)

*Penulis adalah Analis Bisnis/Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI)