Esjepequote#91

Siapa itu Marsinah?
Sapardi Djoko Damono menulis puisi ini….

Dongeng Marsinah
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi,
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
Waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan hati-hati.

Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
meminta kefanaan
yang abadi;
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”

Marsinah, kita tahu, tidak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap kemana-mana.
“Ia suka berpikir”, kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”

Marsinah tidak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”

Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lengking detiknya
tidak terdengar lagi.

Ia tidak diberi air;
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.

Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi

Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli
meregang waktu bersaksi;

Marsinah diseret
dan dicampakkan –
sempurna, sendiri.

Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?

Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?

“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi;
jangan saya dikirim ke neraka itu lagi.”

Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.

Sengsara betul hidup disana,
jika suka berpikir,
jika suka memasak kata;
“apa sebaiknya kita menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”

Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.

“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”

Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.

Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.

Kita tatap wajahnya
setiap pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.

Marsinah itu arloji sejati
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.

(1993-1996)
Sapardi Djoko Pramono