Oligarki

Oleh: Mohammad Sabri

DALAM bingkai Language Philosophy, anggitan oposisi biner” acapkali dinisbatkan kepada pemuka pemikir semiotika, Ferdinand de Saussure. Tapi di tangan Claude Levi-Strauss istilah ini memiliki tenaga dan wibawa. Sebagai antropolog strukturalis, Levi-Strauss amat bergairah menggunakan teori-teori bahasa Saussurian sebagai sebilah sistem struktural guna membidik makna setiap proses kultural yang berlangsung dalam napas kehidupan yang jamak: cara bicara, mode berpakaian, pola kekeluargaan, pilihan kuliner, tata-laku berorganisasi, taboo, mitos, legenda yang gelap, dan seterusnya. Dalam pendakuan Levi-Strauss, oposisi biner lebih merupakan ‘the essence of sence making’ atau struktur nilai yang mengonstruk sistem pemaknaan manusia terhadap budaya dan dunianya.

Oposisi biner mengandaikan adanya sistem pemaknaan yang membelah dunia dalam dua paras katagori yang berelasi. Dalam struktur opisisi biner yang sempurna, segala sesuatu dimasukkan ke dalam kategori X maupun Y. Dua kategori itu menerbitkan makna, hanya jika keduanya beroposisi satu sama lain. Di sini, oposisi biner adalah produk dari sistem penandaan, dan berfungsi untuk menstrukturkan persepsi kita terhadap alam natural dan dunia sosial melalui pengklasifikasian dan pemaknaan.

Meski secara struktural oposisi biner berelasi satu sama lainnya (X/Y), tapi juga bisa ditransformasikan ke dalam sistem oposisi biner yang lebih luas. Misalnya: langit/bumi, transenden/imanen, maskulinitas/feminitas, positif/negatif, kultural/natural, sosial/privat, yin/yang, esoterik/eksoterik, sakral/profan, dan seterusnya. Di sini, langit/bumi adalah dua kategori yang saling beroposisi, dan antara keduanya bisa disejajarkan dengan kategori-kategori yang berurut setelahnya. Dengan begitu, dalam sistem oposisi biner, langit dan bumi sejajar dengan transenden dan imanen, sejajar dengan maskulinitas dan feminitas, sejajar dengan kultural dan natural, sejajar dengan sosial dan privat, sejajar dengan yin dan yang, sejajar dengan sakral dan profan dan seterusnya.

Tapi, oposisi biner juga menerbitkan ‘kategori ambigu’ atau ‘kategori skandal’. Strauss membilangkannya sebagai ‘anomalous catagory’ yaitu posisi-posisi ambigu dan gagap yang tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori X atau pun kategori Y. ‘Kategori skandal’ pada urutannya mengganggu sistem oposisi biner, karena mencemari kebeningan batas-batas oposisi biner.

Antara langit dan bumi, ada posisi cakrawala. Antara hitam dan putih, ada abu-abu. Antara asin dan tawar ada payao. Antara cerdas dan idiot, ada bodoh. Antara cinta dan benci, ada rindu-dendam. Selanjutnya, antara “demokrasi substansial” dan “demokrasi prosedural,” ada oligarchy. Di titik ini, cakrawala, abu-abu, payao, bodoh, rindu-dendam dan oligarchy adalah ‘kategori skandal’ yang mendistorsi sistem oposisi biner.

Menarik menelisik lebih jauh oligarki sebagai sebilah “skandal” dalam kehidupan demokrasi. Studi-studi paling anyar tentang oligarki di Indonesia, setidaknya melahirkan dua arus besar pemikiran: Thomas B Pepinsky yang menganut pendekatan “pluralisme kiritis” dan Edward Aspinall yang mengandaikan peran “mobilisasi dan agensi massa”. Kedua arus pikir oligarki tersebut, ditautkan dengan tiga pemuka pemikir kajian politik Indonesia: Vedi R Hadiz, Richard Robison, dan Jeffrey Winters.

Ciri utama analisis studi politik tentang Indonesia, dengan menggunakan kerangka oligarki: mekarnya klaim jika demokratisasi telah sukses mengubah paras politik Indonesia tanpa kemampuan menyingkirkan kekuasaan oligarki. Baik Hadiz dan Robison maupun Winters mendaku, struktur formal demokrasi elektoral dapat hidup “berdampingan” secara damai dengan kekuasaan oligarki, terutama bila demokrasi tersebut bersifat menyimpang atau sekadar prosedural. Hadiz dan Robison bahkan mendaku, pemilihan umum yang bermakna dapat memengaruhi dan mengubah prilaku kaum oligark. Kedua analisis tersebut, belakangan mengakui jika demokrasi memiliki efek nyata bagi kekuasaan oligarki—namun mereka menolak kemungkinan—pengaruh dan “wibawa” oligarki dapat terdistorsi oleh proses pemilu yang kompetitif.

Menurut mereka, prilaku dan strategi kaum oligark mungkin saja diubah oleh proses demokrasi elektoral—dan juga desentralisasi—tapi tak ada “obat manjur” yang besifat institusional, yang bisa menjamin jika gerakan massa, misalnya mampu menaklukkan kemilau oligarki. Di titik kesadaran ini, baik Hadiz dan Robison maupun Winters tiba pada satu kesimpulan yang menyalak: tak satu pun kekuatan yang bisa menekuk “perseligkuhan haram” antara kekayaan (oligarki) dan kekuasaan (politik), kecuali letupan api revolusi.

Oligarki—skandal pesing dari napas demokrasi—dengan  sendirinya akan selalu menjadi batu sandung, juga hantu bagi kehidupan politik-demokrasi yang sehat di tanah air. Tak cukup agaknya, dinamika demokrasi kita hanya bertumpu pada mobilisasi massa untuk terlibat aktif dalam setiap proses demokrasi elektoral, tetapi juga dituntut terbangunnya konsolidasi civil societyuntuk  terjun ke dan melebur dalam  kancah—serta mendorong mekarnya “arena-arena” demokrasi yang tercerdaskan. (*)

* Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).