Faisal Basri

Kastara.ID, Jakarta – Ekonom Faisal Basri mencurigai adanya pengusaha nakal yang bandel tak ikut program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid I mencoba mendorong Jokowi untuk menjadi presiden untuk ketiga kalinya. Ini mereka lakukan demi mendapat perlindungan dari kejaran pajak.

Faisal menjelaskan, upaya itu dilakukan karena pengusaha bandel itu takut kena denda 300 persen karena tak mengikuti program tax amnesty pada 2016-2017 lalu.

“Denda 300 persen bisa miskin. Bisa tinggal 10 persen kekayaan mereka. Makanya muncul wacana (presiden) tiga periode. Yang bayar pajak ‘nilap’, tidak dilaporkan kekayaannya. Kalau dilaporkan kekayaannya yang banyak isinya hibah, hibah tapi tidak pakai akta,” katanya dalam diskusi online (4/7).

Selain upaya itu, Faisal juga mengatakan demi terbebas dari ancaman denda, pengusaha juga berupaya mendorong pemerintah untuk melaksanakan program Tax Amnesty jilid II. Menurutnya, rencana Tax Amnesty jilid II yang sedang direncanakan pemerintah melalui revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan beberapa waktu lalu bukan berasal dari usulan Kementerian Keuangan tapi diusulkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

“Tax amnesty itu bukan berasal dari Kementerian Keuangan. Bukan dari draf revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Tapi, (itu) minta dimasukkan oleh yang namanya Airlangga Hartarto,” jelas Faisal.

Faisal mengatakan, usulan Airlangga terkait tax amnesty jilid II merupakan dorongan dari pengusaha, khususnya anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Harta yang diperoleh para alumni tax amnesty tersebut terhitung sejak tanggal 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015. Nantinya, dalam program tax amnesty jilid II, penghasilan WP terkait dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final.

Tarif yang berlaku adalah sebesar 15 persen, atau 12,5 persen jika harta kekayaan itu kedapatan diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN).

Kemudian, WP alumni tax amnesty wajib mengungkapkan harta bersih dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) dan disampaikan kepada Ditjen Pajak dalam periode tanggal 1 Juli 2021 sampai dengan tanggal 31 Desember 2021.

Harta bersih yang dimaksud adalah nilai harta yang dikurangi nilai utang. Hal ini tertulis dalam Pasal 37B ayat 2. (ant)