Ekonomi

Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Pertumbuhan ekonomi triwulan kedua 2018 membawa angin segar dengan mencatat pertumbuhan 5,27 persen, lebih besar dari pertumbuhan triwulan pertama 2018 sebesar 5,07 persen. Tetapi, perkembangan pertumbuhan ekonomi yang seharusnya menggembirakan ini ternyata tidak tercermin dalam aktivitas ekonomi lain seperti nilai tukar rupiah.

Kurs rupiah bahkan melemah terus sejak akhir Januari hingga akhir Agustus 2018, dari Rp 13.320 menjadi Rp 14.710 per dolar AS, turun 11,4 persen. Cadangan devisa juga turun 13,7 miliar dolar AS selama 6 bulan, dari 132,0 miliar dolar AS pada akhir Januari 2018 menjadi 118,3 miliar dolar AS pada akhir Juli 2018. Hampir dapat dipastikan cadangan devisa pada akhir Agustus ini akan turun lagi mengingat tekanan terhadap rupiah sangat besar.

Neraca transaksi berjalan mengalami defisit terus-menerus sejak 2012, dan cenderung membesar. Defisit transaksi berjalan triwulan I 2018 sebesar 5,5 miliar dolar AS, dan triwulan II naik menjadi 8 miliar dolar AS, sekitar 3 persen dari PDB. Defisit transaksi berjalan hingga akhir 2018 diperkirakan bisa mencapai 25 miliar hingga 30 miliar dolar AS.

Implikasi dari defisit transaksi berjalan yang kronis dan semakin membesar ini membuat ekonomi Indonesia tergantung dari aliran masuk modal asing, khususnya ke investasi saham dan surat berharga, untuk menutupi defisit transaksi berjalan tersebut. Pemerintah menaikkan imbal hasil surat berharga untuk menarikn investor. Artinya suku bunga akan naik, yang akan membebani perekonomian Indonesia.

Kondisi di atas menggambarkan fundamental ekonomi Indonesia sangat lemah, tidak seperti yang dikatakan oleh para pejabat dan politisi. Ketergantungan dari aliran modal investor asing membuat perekonomian Indonesia rentan gejolak dan rupiah akan terus terombang-ambing.

Jadi turbulensi ekonomi Indonesia akhir-akhir ini bukan karena permasalahan Turki atau Argentina yang memang mempunyai fundamental ekonomi yang lemah dan tidak sehat, dengan defisit transaksi berjalan kronis dan tergantung dari aliran masuk modal asing. Ketika aliran modal asing tertahan maka ekonomi bergejolak dan memicu krisis mata uang. Argentina sudah sejak Mei 2018 melakukan pendekatan dengan IMF, dan akhirnya disepakati pinjaman 50 miliar dolar AS untuk mengatasi krisis moneternya.

Kasus Argentina sangat menarik untuk dijadikan pelajaran bagi para ekonom dan pejabat kita yang hanya melihat ekonomi dari indikator rasio saja. Pertama, rasio utang pemerintah Argentina masih di bawah 60 persen dari PDB, yang katanya masih dalam batas aman. Tahun 2012, rasio tersebut bahkan masih sekitar 40 persen.

Kedua, Debt Service Ratio (DSR) 2017 hanya 21,9 persen, dapat dianggap sangat “sehat” sekali. DSR semakin rendah semakin bagus. DSR Indonesia di tahun yang sama sebesar 30,9 persen, secara teori lebih buruk dari Argentina.

Ketiga, rasio cadangan devisa terhadap impor 2017 sebesar 6,16 bulan impor, jauh di atas standar kecukupan 3 bulan impor, dan tidak beda jauh dengan Indonesia yang sebesar 7,05 bulan impor. Meskipun secara rasio-rasio tersebut cukup baik, Argentina sekarang harus minta bantuan IMF untuk mengatasi krisis moneter dan ekonominya.

Terlepas dari apa yang sedang diupayakan oleh pemerintah dengan membatasi impor dan memberlakukan penggunaan B20, yakni Biodiesel 20: bahan bakar solar dengan campuran minyak kelapa sawit 20 persen, defisit transaksi berjalan hingga akhir tahun diperkirakan masih akan membesar, dan rupiah masih akan tertekan. Oleh karena itu, Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga acuan, dan pertumbuhan ekonomi akan melambat.

Yang juga sangat mengkhawatirkan, mesin ekonomi Indonesia sudah kehabisan bahan bakar sehingga tidak berdaya memberi stimulus ekonomi untuk menopang pertumbuhan ekonomi: tax ratio (rasio penerimaan pajak terhadap PDB) tahun 2017 hanya 9,89 persen, turun dari 10,36 persen dari tahun sebelumnya. Tahun ini tax ratio diperkirakan masih turun menjadi sekitar 9,4 persen saja. Dengan tax ratio seperti ini, krisis anggaran sangat mungkin terjadi.

Defisit APBN sudah mendekati batas maksimum undang-undang sebesar 3 persen dari PDB. Jadi, prospek ekonomi Indonesia cukup kelabu, kecuali ada keajaiban, misalnya, harga minyak mentah anjlok lagi seperti tahun 2014 atau 2015, dan atau harga komoditas naik seperti tahun 2010-2012.

Keduanya sangat sulit terjadi dan di luar kendali pemerintah. Oleh karena itu, jalan satu-satunya adalah segera melakukan perubahan total atas fundamental ekonomi kita dengan melakukan total economic reforms sehingga fundamental ekonomi menjadi sehat. (watyutink)