Komunitas Salihara Arts Center

Kastara.ID, Jakarta – Sejak awal kesadaran manusia, evolusi musik telah menjadi bagian integral dari gaya hidup. Apapun genrenya, orang selalu menghargai musik yang sesuai dengan preferensi masing-masing. Terlepas dari apapun preferensi mereka, musik menjadi bagian dari gaya hidup manusia tanpa mereka sadari.

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan khususnya bagi peminat musik dan masyarakat umum, serta memberi gambaran mengenai perkembangan musik abad ke-20 sampai hari ini dari sisi yang jarang dibahas, Komunitas Salihara Arts Center menggelar Seri Diskusi Zoom In mengangkat tema “Musik Abad Ke-20” dengan pembicara Dion Nataraja dan Septian Dwi Cahyo. Seri diskusi ini berlangsung secara daring pada Rabu dan Kamis, 8-9 September 2021.

Kurator Musik Komunitas Salihara Arts Center Tony Prabowo mengakui, konsep tentang bentuk dan estetika musik telah banyak berubah pada awal abad 20. “Apa yang berubah dan bagaimana gambaran mengenai situasi terkini dari musik abad 20 dan 21? Materi yang disampaikan pada Zoom In kali ini berisi hal-hal penting yang bisa menambah pengetahuan kita tentang kesenian dan pemikiran, terutama musik abad ke-20,” jelas Tony Prabowo.

Zoom In: Musik Abad Ke-20 akan membahas dua topik menarik. Pertama, tentang orientalisme dalam musik kontemporer yang disampaikan Dion Nataraja. Kedua, tentang perkembangan ekstrem musik dan revolusi digital di dunia musik yang disampaikan Septian Dwi Cahyo. Kedua topik diskusi ini akan membedah bagaimana musik, pengaruhnya, dan genre telah berkembang selama beberapa dekade. Jelas bahwa musik memiliki banyak sejarah yang telah dihasilkan selama berabad-abad, dan seri diskusi ini akan membahas evolusi musik dari abad ke-20, warisan, serta pengaruhnya hingga masa kini.

Pada sesi pertama, Dion Nataraja, komposer muda dan peneliti yang sedang studi di Bennington College, Amerika Serikat ini membahas berbagai varian orientalisme di musik abad ke-20. “Orientalisme yang dimaksud di sini adalah bagaimana “Timur” dikonsepsikan, diimajinasikan, dan dikonstruksi oleh “Barat”. Saya akan membahas isu representasi ini dari berbagai sisi; mulai dari tulisan pribadi komponis, tulisan teoritis, hingga teknik-teknik komposisi, serta dikaitkan juga dengan isu orientalisme di musik abad 20 dengan disiplin lain seperti filsafat, sastra, seni rupa, dan sebagainya,” papar Dion Nataraja.

Dion juga akan memaparkan hubungan antara “serialisme” (musik serial atau musik deret) dan “spektralisme” (musik spektral). Terutama, mengacu kepada pemikiran sejumlah komposer, seperti Arnold Schoenberg, Pierre Boulez, Tristan Murail dan Gerald Grissey. Dari analisis mereka akan terlihat bagaimana Timur dikonseptualisasi oleh komposer dari ranah serialisme yang memiliki tendensi neokolonial, sementara komposer dari ranah spektralisme memiliki pendekatan yang membuka solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah pascakolonial.

Pada sesi kedua, komponis muda Septian Dwi Cahyo akan membahas penggunaan produk teknologi untuk mempresentasikan karya musik. “Mulai dari aneka bentuk gim semisal PlayStation, alih daya (outsourcing), maupun perpaduan antara kontroler gim dengan alat-alat musik elektronik. Dengan kata lain kolaborasi antara instrumen musik dengan media lain diperbesar dan diupayakan hingga ke batas terjauh. Termasuk di dalamnya adalah “New Conceptual Music” (musik konseptual baru), yang menegaskan lebih pentingnya konsep tentang musik daripada musik itu sendiri. Yang tak kalah penting pengaruh sosial-politik terhadap penciptaan musik dunia,” papar Septian Dwi Cahyo.

Septian Dwi Cahyo sendiri pernah memainkan karya-karyanya di beberapa festival penting di Eropa, Meksiko, Asia Timur, dan Asia Tenggara seperti 21st Young Composer Meeting, MUSLAB 2018, Shanghai New Music Week, dan Young Composers in Southeast Asia Festival 2013.

“Perjalanan musik telah menjadi salah satu yang luar biasa dan telah menghadapi banyak pasang surut, tetapi meskipun musik telah memperoleh pengaruh dari seluruh dunia dan telah berkembang lebih jauh dari yang diharapkan. Orang yang berbeda mendengarkan genre musik yang berbeda. Mereka dapat dengan cepat mengidentifikasi dampaknya pada kehidupan mereka, dan apapun yang terjadi. Evolusi musik akan selalu menjadi salah satu kekuatan pendorong terpenting umat manusia,” tutup Tony Prabowo. (put)