Buruk Muka Kaca Dibelah

Oleh: Jaya Suprana

SEBUAH isu kontroversial sempat menghebohkan persada Nusantara, yaitu gagasan menghapus pendidikan agama di sekolah umum.

Disarankan agar pendidikan agama bukan dilakukan di sekolah umum namun cukup di rumah tangga keluarga masing-masing siswa. Saran bahkan eksplisit dilengkapi contoh bagaimana China dan Singapura yang tidak mewajibkan pendidikan agama di sekolah terbukti berhasil sukses membangun negara.

Sejarah
Tokoh pemerhati pendidikan agama dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo memberikan masukan pendapat bijak sebagai berikut. “Sejarah lahirnya sebuah bangsa sangat berbeda satu dengan lain-lainnya. Kita sebelum dijajah merupakan bangsa yang unggul dengan kerajaan seperti Sriwijaya, Majapahit dan lain-lain. Hampir tidak ada kerajaan yang hancur karena serangan dari luar Nusantara tetapi hancur dari dalam sendiri. Bangsa Nusantara kumpulan dari suku yang piawai berperang yang ditandai dengan tidak ada satu sukupun yang tidak  punya ciri senjata dan tarian perang. Sejarah agama pun  silih berganti dari Hindu ke Islam dan di daerah tertentu sesuai agama penjajah ke Nasrani seperti Ambon, Flores, Papua. Dan demi menyatukannya salah satu cara adalah pendidikan agama. Pada pelajaran agama awal diajarkan semua agama yang ada, baru pada tahap selanjutnya masing masing agama. Pelajaran agama merupakan kesatuan tidak bisa dipisahkan dari budi pekerti, bahasa Indonesia, kemasyarakatan dan sejarah. Ingat bahwa saat merdeka kita masih miskin dan terbelakang serta terkotak kotak. Semua itu perlu waktu untuk mempersatukan dan merubah jiwa dampak dari kolonialisme. Jangan melihat pelajaran agama dari satu sudut pandang saja. Kalau pelajaran agama tidak ada pasti banyak guru agama dengan versi masing masing dan tidak terkontrol maka ajaran dan alurannya malah bisa sangat berbahaya menyesatkan generasi muda”.

Kebudayaan
Praktisi pendidikan dari Komite Pendidikan Anak Indonesia, Retno Listyarti menegaskan, “Pelajaran agama di sekolah selama ini sudah tepat, termasuk banyaknya jam pelajarannya di kelas. Jadi tidak perlu ada yang diubah dan tidak perlu juga dihapus. Pelajaran agama masih diperlukan untuk diberikan di sekolah”.

Sementara Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti tidak setuju bila pendidikan agama di sekolah dituduh sebagai akar dari tumbuhnya radikalisme. Jika memang ada persoalan pada pendidikan agama di sekolah, solusinya bukan menghapus melainkan memperbaiki kurikulum dan metode pendidikannya.

Direktur MURI merangkap pembina seni tari tradisional, Aylawati Sarwono menegaskan bahwa keberhasilan sebuah negara tidak tergantung pada ada-tidaknya pendidikan agama di sekolah. Maka pendidikan agama di sekolah jangan dihapus sebab lebih bijak jika disempurnakan secara berkelanjutan tanpa henti.

Pembangunan
Sebagai pembelajar kebudayaan pembangunan, saya tidak setuju pembandingan Indonesia dengan China dan Singapura. Ibarat lain padang lain belalang, maka setiap bangsa memiliki sukma kebudayaan pembangunan negeri masing-masing yang mustahil seragam satu dengan lain-lainnya.

Mungkin saja China dan Singapura berhasil membangun negara tanpa pendidikan agama, namun bukan berarti hanya akibat tanpa pendidikan agama lalu mereka berhasil. Bahkan jangan-jangan dengan pendidikan agama malah pembangunan China dan Singapura makin jauh lebih berhasil .

Pendidikan agama tidak perlu diberhalakan namun juga jangan dikambinghitamkan! Jika pembangunan Indonesia ingin berhasil seperti Singapura sebaiknya jangan dengan menghapus pendidikan agama tetapi misalnya dengan meniru Singapura meningkatkan pendidikan budaya disiplin demi meningkatkan produktifitas nasional.

Jika ekonomi Indonesia mau berjaya seperti China sebaiknya jangan menghapus pendidikan agama namun pemerintah menyemangati dan nyata mendukung warga berwirausaha industri kreatif dan inovatif demi memperkokoh sendi-sendi kedaulatan ekonomi nasional di tengah kemelut persaingan global sambil agresif ekspansi ekonomi ke mancanegara. Menghapus pendidikan agama akibat kurang puas terhadap kinerja pembangunan ibarat buruk muka, cermin dibelah. (*)

* Penulis adalah pembelajar kebudayaan pembangunan dan pembangunan kebudayaan.