Oleh: Muhammad AS Hikam

Politisi Partai Golkar yang juga salah seorang mantan Ketua PBNU, Nusron Wahid (NW), boleh-boleh saja mengimbau publik agar aksi 212 di Monas tidak dibenturkan dengan aksi 412 di Bundaran HI. Namun bagi seorang pengamat politik seperti saya sulit untuk tidak membuat perbandingan kedua event tersebut karena keduanya adalah ekspressi sebuah gerakan politik yang memiliki signifikansi dalam kancah perpolitikan Indonesia, baik saat ini dan masa depan. Terlebih lagi keduanya merepresentasikan basis dukungan, metode, dan yang terpenting kekuatan yang berbeda. Sehingga pengaruh keduanya terhadap dinamika politik, khususnya dalam konteks sistem demokrasi yang sedang bertumbuh (fledgling democracy), di negeri ini perlu dicermati. Ini bukan pembenturan, tetapi perbandingan biasa saja yang sah dalam wacana dan praksis politik.

Saya berangkat dari sebuah perspektif yang mencoba memahami fenomena politik yang direpresentasikan oleh kedua aksi tersebut yang membedakan antara politik massa dengan politik elektoral. Yang disebut belakangan itu tak hanya yang ada di lembaga politik formal sepeti parlemen saja, tetapi juga di luarnya yang dilakukan oleh partai-partai politik dengan memobilisasi pendukungnya. Sementara itu politik massa lebih bersumber dari mobilisasi oleh elemen-elemen dalam masyarakat sipil dengan tujuan mencapai tujuan politik tertentu.

Di dalam sebuah masyarakat demokratis dan terbuka seperti di Indonesia, keduanya sah-sah saja dan merupakan fenomena yang sehat. Di negara yang paling lama mempraktikkan demokrasi pun, politik massa merupakan hal yang biasa dijadikan sebagai wahana penyampaian aspirasi yang mungkin tak efektif jika melalui parlemen. Namun demikian fenomena politik massa juga bisa merupakan sebuah indikator telah adanya pelemahan atau disfungsi dari politik elektoral. Bahkan jika kekuatan politik massa itu ternyata lebih besar dan mampu mengubah rezim yang ada atau menghasilkan perubahan fundamental, maka berarti bahwa politik elektoral telah gagal dan/atau kehilangan legitimasinya.

Bagaimana dengan aksi 212 dan 412? Hemat saya 212 (dan rentetan sebelumnya, 1410 dan 411) adalah sebuah fenomena politik massa yang paling kuat pasca reformasi dan dapat berdampak serius terhadap konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan. Hal itu disebabkan politik massa tersebut dapat diduga mengarah kepada suatu pergantian pemerintahan (regime change). Kasus penistaan agama adalah salah satu pintu masuk yang efektif untuk mobilisasi kekuatan dan konsolidasi politik. Primordialisme dam sektarianisme menjadi ideologi alternatif yang dijadikan sebagai alat legitimasi gerakan oleh para pemimpin dan pendukungnya. Fakta yang ada menunjukkan bahwa gelaran tersebut sangat sukses dalam melakukan mobilisasi massa dan berhasil membuat Pemerintah mengakui keberadaan dan memenuhi sebagian dari tuntutan aspirasi politik mereka.

Di pihak lain aksi 412 adalah sebuah ekspressi politik elektoral yang sedang melakukan mobilisasi kekuatan melalui massa yang mendukung parpol-parpol pelaksana aksi tersebut. Tujuannya sangat terbatas jika dibandingkan dengan yang disebut pertama tadi, kendati dibungkus dengan retorika dan pageantry (peragaan kemewahan) serta pengerahan massa yang cukup besar. Jika dibanding dengan aksi 212, maka dalam aksi 412 tak memiliki landasan ideologi yang cukup kohesif dan mampu untuk menciptakan daya tarik di luar kelompok mereka. Fakta bahwa para peserta 412 sangat banyak ditopang oleh perusahaan dan juga kantor-kantor birokrasi Pemerintah serta anggota dan simpatisan parpol, menunjukkan sempitnya daya tarik gerakan ini.

Itu sebabnya tidak ada ikon pemimpin gerakan yang berhasil dimunculkan oleh 412 dan karena itu tak bisa menjadi tandingan yang cukup serius vis a vis aksi 212. Aksi “Kita Indonesia” atau yang sejenisnya yang akan dibuat dengan pola ini, tak akan mampu memunculkan seorang pemimpin nonformal dan kharismatik seperti Habib Rizieq Shihab. Sebab aksi tersebut sangat tergantung kepada pimpinan-pimpinan parpol yang ikut serta dan hal itu sangat sulit.

Dengan demikian strategi pembendungan terhadap politik massa melalui model 412 ini sangat tidak efektif baik dalam jangka pendek maupun panjang. Paling-paling yang akan diraih adalah lomba keramaian belaka namun tidak akan memiliki kekuatan menghentikan atau mitigasi atas politik massa. Publik akan melihat aksi 412 adalah representasi parpol dan parlemen. Sejauh bahwa parpol-parpol dan parlemen kehilangan trust dari publik dan rakyat, maka aksi mereka pun akan cenderung muspro.

Pemerintah dan masyarakat Indonesia yang berkomitmen dengan sistem demokrasi konstitusional tentu harus mencermati fenomena politik massa yang tampaknya memiliki daya tarik dangat kuat akhir-akhir ini. Khususnya tren primordialisme dan sektarianisme yang jelas bertentangan dengan pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu harus dilakukan reformasi yang menyeluruh terhadap parpol yang ternyata gagal menjadi tulang punggung politik elektoral kita selama ini. Jika ini tak dilakukan, maka publik dan rakyat Indonesia akan lebih memilih jalan politik massa ketimbang jalan elektoral. Dan ini akan merugikan NKRI dalam jangka panjang karena stabilitas politik akan terus terganggu oleh gejolak-gejoak yang berdampak pada aspek-aspek lain. (*)