Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

MUNGKINKAH wakaf malah semakin mengokohkan kapitalisme? Jika berbicara pada tataran konsep wakaf dalam Islam, semestinya tidak terjadi. Wakaf justru menjadi antitesis dari kapitalisme. Dengan kata lain, kehadiran wakaf justru semestinya semakin melemahkan kapitalisme, bahkan sampai menghapuskannya.

Namun, lain soal jika berbicara pada tataran praktisnya. Salah kelola wakaf memang bisa berpotensi semakin mengokohkan kapitalisme. Prinsip dasar wakaf adalah tahan pokoknya, alirkan hasilnya (habbasta ashlaha wa tashadaqta biha). Pengejawantahan dari prinsip dasar wakaf ini tergantung pada pemahaman nazhir (pengelola wakaf). Maka, potensi misimplementation wakaf mungkin saja terjadi.

Sebagaimana zakat, infak, dan sedekah, wakaf merupakan pembelaan dan jaminan sosial bagi fakir dan miskin. Artinya, wakaf mesti membuahkan kebermanfaatan bagi fakir dan miskin dari surplus wakaf yang dihasilkan.

Dalam hal ini, karakter wakaf dalam menghasilkan surplus adalah dengan menggerakan ekonomi sektor ril. Sehingga roda perekonomian masyarakat berputar. Inilah manfaat lain dari wakaf. Karena itu, dana wakaf yang terhimpun melalui wakaf tunai, semestinya diproduktifkan pada aktivitas ekonomi sektor ril. Di sinilah dampak ekonomi wakaf akan terasa oleh masyarakat.

Tantangannya, memproduktifkan dana wakaf pada ekonomi sektor ril memang perlu kompetensi memadai. Dalam hal ini, nazhir memang mesti memiliki kompetensi handal. Namun demikian, nazhir tidak harus melakukannya secara langsung. Nazhir bisa bermitra dengan para pelaku UMKM dengan akad mudharabah melalui pembelian aset-aset usaha produktif yang dikelola oleh para pelaku UMKM.

Misalnya, dana wakaf tunai yang terhimpun dibelikan lahan persawahan dan perkebunan sekian hektar. Lahan sawah dan kebun ini digarap oleh kelompok tani. Hasil panennnya dibagi sesuai kesepakatan akad. Sebagian menjadi hak milik para petani, sebagian lagi menjadi surplus wakaf.

Surplus wakaf ini kemudian disalurkan untuk memberikan layanan pendidikan dan kesehatan gratis bagi fakir dan miskin, termasuk bagi para petani tersebut. Satu sisi secara nilai intrinsik, aset wakaf berupa persawahan dan perkebunan nilainya tidak berkurang, pada sisi lain aset wakaf tersebut terus menghasilkan surplus bagi mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf).

Contoh lain, dana wakaf tunai yang terhimpun digunakan untuk membangun pasar rakyat. Para pelaku UMKM dapat menyewa kios-kios dalam pasar tersebut dengan harga murah dibandingkan harga sewa pada umumnya. Sehingga, para pelaku UMKM bisa memperoleh marjin keuntungan lebih besar dari hasil perniagaannya, karena penghematan pada biaya sewa kios.

Hasil dari sewa kios tersebut menjadi surplus wakaf. Sebagian digunakan untuk pemeliharaan dan perawatan aset pasar tersebut. Sebagian lagi bisa disalurkan kepada mauquf ‘alaih. Inilah model pengembangan dana wakaf yang berkah dan berdampak multiplier benefit (manfaat berlipat).

Sementara itu, ada model lain pengembangan dana wakaf tunai yang relatif mudah dan tidak memerlukan energi besar. Di sinilah letak godaannya. Model tersebut adalah menempatkan dana wakaf tunai dalam bentuk deposito, saham, atau reksadana (syariah).

Dari sinilah penyimpangan tujuan wakaf bermula. Ketika dana wakaf ditempatkan dalam bentuk deposito, saham, atau reksadana, maka wakaf telah berubah seperti endowment fund (dana abadi). Paradigma endowment fund tidak bisa dilepaskan dari paradigma kapitalisme dalam menghasilkan keuntungan.

Memang ada sisi persamaan antara wakaf dan endowment fund. Persamaannya, sama-sama memiliki prinsip produktif dan abadi. Artinya, baik dana wakaf maupun endowment fund mestilah bersifat produktif (terus menghasilkan surplus) dan abadi (surplusnya berkelanjutan).

Namun demikian, ada perbedaan mendasar antara wakaf dan endowment fund. Perbedaannya, terletak pada prinsip memproduktifkannya agar menghasilkan surplus abadi. Pengembangan endowment fund tidak menyoal apakah diproduktifkan pada ekonomi sektor ril ataukah dalam bentuk penempatan deposito, saham, dan reksadana. Bahkan, pada praktiknya, hampir mayoritas endowment fund ditempatkan dalam bentuk deposito, saham, dan reksadana, sehingga menghasilkan bunga.

Sifat dasar produktivitas dalam wakaf berbeda dengan endowment fund. Pengembangan dana wakaf haruslah pada ekonomi sektor ril. Karena, wakaf bertujuan memutar uang agar tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya.

Bila pengembangan dana wakaf dilakukan dalam bentuk penempatan deposito, saham, atau reksadana, maka para pelaku UMKM tidak bisa merasakan manfaat dari adanya dana wakaf tersebut. Malahan, menguntungkan para pelaku ekonomi kelas kakap. Ketika saham perusahaan mereka dibeli, mereka semakin mendapatkan suntikan modal untuk menjadikan usahanya semakin menggurita.

Memang dari aset wakaf berupa saham itu bisa mendatangkan deviden yang bisa menjadi surplus wakaf. Namun demikian, semestinya bukan seperti ini model pengembangan wakaf. Demikian pula ketika dana wakaf didepositokan dalam sebuah bank. Maka, para pelaku usaha kelas kakaplah yang berpotensi memanfaatkan dana tersebut untuk pembiayaan usaha mereka.

Jika praktik pengembangan dana wakaf model tersebut yang banyak dijalankan oleh para nazhir, pada titik inilah wakaf berpotensi akan mengokohkan kapitalisme. Tentu saja kita tidak menginginkannya. Karena itu, paradigma wakaf sebagai pengembangan dan pemberdayaan ekonomi sektor ril harus menjadi prinsip dalam pengembangan dana wakaf. (*)

* Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan.