Masker

Oleh: KH Lukman Hakim

BELAKANGAN ini ada salah satu fashion yang lekat dengan kita, namanya masker. Yaitu kain atau bahan lainnya yang menutupi mulut dan hidung dengan menggunakan tali diikat di telinga agar tidak mudah lepas. Trend masyarakat Indonesia, termasuk saya, mulai menggunakan masker ini setelah adanya pandemi sebagai bagian dari ikhtiar pencegahan penyebaran virus Covid-19.

Ikhtiar menggunakan masker ini senada dengan anjuran pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran wabah Covid-19. Apalagi baru-baru ini ada temuan dua kasus virus Corona varian baru yang bernama B117 asal Inggris. Hasil telaah Dr Henry Walke dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bahwa jenis virus ini 40-70 persen lebih infeksius atau lebih menular, sehingga proses penyebaran virus ini lebih masif dan mengakibatkan akan lebih banyak kasus sehingga membebani sistem perawatan kesehatan.

Sejarah awal masker banyak disinyalir dengan penemuan beberapa gambar orang memakai kain untuk menutupi mulut mereka yang ditemukan di pintu makam Persia. Gambar tersebut menurut para arkeolog, mungkin dimulai pada abad ke 6 SM. Berdasarkan catatan The Travelers of Marco Polo yang merupakan buku perjalanan orang Italia pada abad ke 13, sebagaimana dikutip dari Global Times, masker pertama kali diduga muncul pada masa Dinasti Yuan (1279-1368). Pada masa itu, masker di China berupa kerudung yang ditenun dengan sutra dan benang emas.

Ternyata keberadaan masker dalam mengantisipasi wabah bukanlah hal yang baru. Beberapa hasil studi menyimpulkan sejumlah manfaat masker. Pertama, lebih rendah potensi terinfeksi virus. Orang-orang yang selalu memakai masker memiliki risiko 70 persen lebih rendah terinfeksi dibandingkan dengan mereka yang tidak memakai masker. Menurut ahli Epidemiology at the Columbia University Medical Center, Stephen Morse, bahwa mengenakan masker sama-sama mengurangi risiko tertular Covid-19.

Kedua, penyaring virus lebih baik. Riset ini dipertegas oleh Ketua Anestesiologi di Wake Forest School of Medicine, Prof. Scott Segal yang telah menguji berbagai jenis masker kain sejak bulan Maret. “Jika kita dapat melihat cahaya yang menguraikan serat benang dalam masker, itu mungkin bukan filter yang baik. Tetapi jika tidak bisa melihatnya, masker itu akan menyaring virus lebih baik,” kata dia. Masker juga dapat bertindak sebagai penghalang aerosol yang lebih kecil.

Ketiga, mencegah penyebaran virus. Hasil penelitian yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences menunjukkan bahwa menggunakan masker adalah cara efektif mencegah infeksi virus. Para ahli menakar efektivitas berbagai cara untuk menghentikan penyebaran infeksi dan menentukan bagaimana virus corona bisa menyebar lewat kontak langsung saat penderita batuk, bersin, atau berbicara dengan orang lain.

Asal muasal kata masker tidak diketahui persis dari bahasa mana. Namun kalau ditinjau dari sisi subtansi manfaatnya, disinyalir ada kemiripan dengan bahasa Arab yang berasal dari kata dasar sakara atau syakara. Dalam kajian morphologi (ilmu Sharaf) kata masker itu mengikuti wazan maf’al yang berarti menandakan isim makan (menunjukkan tempat) atau isim zaman (menunjukkan kondisi atau keadaan).

Kata sakara artinya mabuk. Dalam Al-Quran asal kata sakara yang artinya mabuk terdapat dalam beberapa tempat, yaitu: QS an-Nisa: 43, an-Nahl: 67, dan al-Hajj: 2. Jika kata masker berasal dari kata maskar maka maknanya tempat memabukkan, karena mulut dan hidung adalah sarana asupan yang bisa membuat orang menjadi mabuk. Berbagai jenis barang memabukkan yang dikonsumsi melalui mulut adalah minuman keras, obat-obat terlarang yang mengandung zat adiktif atau psikotropika dan narkoba, seperti morfin, heroin, ekstasi dan lain sebagainya. Sementara jenis barang memabukkan yang menggunakan hidung dengan cara dihisap, misalnya sabu-sabu, ganja, kokain, dan opium. Dalam konteks ini, maka bermasker memiliki inspirasi sebagai berikut:

Pertama, kalau bermasker dalam konteks wabah bisa meminimalisir tertularnya virus, maka masker dalam hal ini memilki manfaat agar mulut dan hidung kita terhindar dari berbagai zat dan minuman yang memabukkan.

Kedua, masker sebagai filter. Ini memberikan inspirasi agar tidak semua jenis makanan dan minuman masuk ke dalam tubuh, tapi hendaknya disaring terlebih dahulu karena bisa membahayakan tubuh kita sendiri. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa faktor penyakit disebabkan faktor kecerobohan dalam asupan makanan dan minuman.

Ketiga, masker sebagai pencegah penyakit. Ini memberikan pelajaran agar kita sebisa mungkin tidak mendekat dengan berbagai zat dan minuman yang memabukkan. Sebab, hal itu akan berakibat buruk bagi kehidupan kita dan orang lain. Apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo dengan mencabut lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang di dalamnya mengatur mengenai investasi miras, adalah kebijakan yang patut diacungi jempol mengingat hal tersebut sebagai bagian dari mencegah maraknya peredaran minuman keras.

Sementara bila kata masker berasal diambil dari kata syakara, artinya bersyukur. Maka, kata masyker berarti maknanya tempat bersyukur. Sebab mulut adalah sarana bersyukur yang paling dominan. Dalam Al-Quran kata syakara dengan berbagai varian kata disebut sebanyak 43 kali, di antaranya terdapat dalam QS al-Baqarah: 52, 56, 152, 172, 185, dan 243, QS Ali Imran: 123, QS an-Nisa: 147, dan QS al-Maidah: 6.

Kata syakara terdiri atas kata syin, kaf, dan ra’. Secara bahasa bermakna membuka, menampakkan, menyingkap, dan menunjukkan. Menurut Ahmad ibn Faris dalam kitabnya, Maqayis al-Lughah, mengemukakan makna dari kata syakara ini adalah pujian, karena adanya kebaikan yang diperoleh seseorang. Sementara Syekh ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mufradat-nya berpendapat bahwa kata syakara juga berarti sebagai upaya untuk mau menampakkan nikmat-nikmat Tuhan ke permukaan.

Masyker dalam konteks ini berarti memiliki inspirasi makna agar mulut dijadikan sarana untuk senantiasa bersyukur melalui kata-kata pujian dan menampakkan berbagai nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita. Adapun caranya, dapat diurai sebagai berikut:

Pertama, meminimalisir ucapan yang buruk. Ucapan yang buruk itu bagaikan virus yang bisa mencelakai bahkan membunuh siapa saja. Hal ini senada dengan kata-kata bijak bahwa “Keselamatan manusia bergantung dengan menjaga lisannya”.

Menurut Matthias R. Mehl, seorang profesor psikologi dari Arizona University yang mempelajari berapa jumlah kata yang telah diucapkan ratusan mahasiswa Amerika dan Meksiko. Studi tersebut menemukan bahwa perempuan berbicara 16.215 kata per hari, sementara laki-laki berbicara 15.669 kata per hari. Meskipun perempuan berbicara sedikit lebih banyak ketimbang pria, secara statistik perbedaannya tidak signifikan. Sementara boleh jadi kita tidak mengontrol dari 16.000 kata ini apakah lebih banyak kata yang baiknya atau malah sebaliknya justru lebih banyak kata yang buruknya. Oleh karena itu, memakai masker berarti memberi pelajaran agar kita bisa meminimalisir mengucapkan kata-kata yang buruk dalam setiap berbicara.

Kedua, menyaring setiap kata yang keluar dari mulut kita. Ada kata-kata bijak “berbicaralah dengan kata mulia atau hendaknya diam”. Bermasker berarti memilih kata-kata yang baik dengan cara diulang-ulang seperti dengan kalimat zikir, memperbanyak baca Al-Quran atau terbiasa mengucapkan magic word seperti mohon maaf dan terima kasih.

Ketiga, mencegah ucapan yang menyakiti dan merugikan diri dan orang lain. Bermasker berarti kita berikhtiar mencegah kata-kata yang tidak mengandung kebohongan, hoaks, dan ujaran kebencian. Terlepas dari pro dan kontra, sebagai bahan pertimbangan ada masukan berharga dari data penelitian yang dilakukan oleh microsoft dalam laporan terbaru Digital Civility Index (DCI). Microsoft mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya. Dalam riset tersebut, warganet Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara atau bisa disebut paling tidak sopan dalam berkomunikasi di dunia maya.

Akhirnya, dengan bermasker kita bisa mengambil inspirasi supaya terjaga dari wabah Covid-19, selamat dari bahaya berbagai jenis yang memabukkan dan tercegah dari kata-kata yang mengandung kebohongan, hoaks, dan ujaran kebencian. Wallahu A’lam. (*)

* Pengasuh Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon.